Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Senin, 24 Oktober 2011

Fat-hul Baari bi Syarhi Shahiih al-Bukhari 3


وَقَدْ أَجَابَ مَنْ شَرَحَ هَذَا الْكِتَابَ بِأَجْوِبَةٍ أُخَرَ فِيهَا نَظَرٌ مِنْهَا أَنَّهُ تَعَارَضَ عِنْدَهُ الِابْتِدَاءُ بِالتَّسْمِيَةِ وَالْحَمْدَلَةِ فَلَوِ ابْتَدَأَ بِالْحَمْدَلَةِ لَخَالَفَ
الْعَادَةَ أَوْ بِالتَّسْمِيَةِ لَمْ يُعَدَّ مُبْتَدِئًا بِالْحَمْدَلَةِ فَاكْتَفَى بِالتَّسْمِيَةِ وَتُعُقِّبَ بِأَنَّهُ لَوْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا لَكَانَ مُبْتَدِئًا بِالْحَمْدَلَةِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا بَعْدَ التَّسْمِيَةِ وَهَذِهِ هِيَ النُّكْتَةُ فِي حَذْفِ الْعَاطِفِ فَيَكُونُ أَوْلَى لِمُوَافَقَتِهِ الْكِتَابَ الْعَزِيزَ فَإِنَّ الصَّحَابَةَ افتتحوا كِتَابَة الإِمَام الْكَبِير بالتسميه والحمدلة وَتَلَوْهَا وَتَبِعَهُمْ جَمِيعُ مَنْ كَتَبَ الْمُصْحَفَ بَعْدَهُمْ فِي جَمِيعِ الْأَمْصَارِ مَنْ يَقُولُ بِأَنَّ الْبَسْمَلَةَ آيَةٌ مِنْ أَوَّلِ الْفَاتِحَةِ وَمَنْ لَا يَقُولُ ذَلِكَ

Beberapa pensyarah Shahiihul Bukhari memberikan jawaban lain, diantaranya:
Pertama: Imam al-Bukhari masih ragu antara memulai sesuatu dengan basmalah ataukah dengan hamdalah? Apabila beliau memulainya dengan hamdalah maka hal itu menyelisihi kebiasaan yang sudah berlaku. Namun jika beliau memulainya dengan basmalah berarti ia tidak dianggap dimulai dengan hamdalah. Maka beliau lebih memilih membukanya dengan basmalah saja.

Jawaban di atas adalah tidak benar. Seandainya Imam al-Bukhari menyebutkan keduanya tentunya beliau dianggap telah mengawali kitabnya dengan hamdalah untuk hal-hal yang disebutkan dengan tulisan basmalah-nya. Itulah sebabnya beliau tidak mencantumkan kata sambung, karena cara seperti ini lebih sesuai dengan al-Qur-an.

Selain itu juga karena para Sahabat memulai penulisan al-Imaamul Kabiir (al-Qur-an) dengan basmalah setelah itu baru menyebut hamdalah. Cara seperti ini diikuti oleh para penulis mus-haf al-Qur-an setelah mereka diseluruh negeri, baik oleh yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat pertama dalam surat al-Fatihah maupun yang tidak.

وَمِنْهَا أَنَّهُ رَاعَى قَوْلَهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ الله وَرَسُوله فَلَمْ يُقَدِّمْ عَلَى كَلَامِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ شَيْئًا وَاكْتَفَى بِهَا عَنْ كَلَامِ نَفْسِهِ وَتُعُقِّبَ بِأَنَّهُ كَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَأْتِيَ بِلَفْظِ الْحَمْدِ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَيْضًا فَقَدْ قَدَّمَ التَّرْجَمَةَ وَهِيَ مِنْ كَلَامِهِ عَلَى الْآيَةِ وَكَذَا سَاقَ السَّنَدَ قَبْلَ لَفْظِ الْحَدِيثِ وَالْجَوَابُ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ التَّرْجَمَةَ وَالسَّنَدَ وَإِنْ كَانَا مُتَقَدِّمَيْنِ لَفْظًا لَكِنَّهُمَا مُتَأَخِّرَانِ تَقْدِيرًا فِيهِ نَظَرٌ

Kedua: Imam al-Bukhari menerapkan firman Allah ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ الله وَرَسُوله
"Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya..." (QS. al-Hujuraat: 1).Beliau tidak ingin mendahului perkataan apapun sebelum firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Oleh sebab itu beliau tidak perlu mencantumkan perkataan lain meskipun perkataan beliau sendiri.
Al-Hafizh: Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena sebenarnya beliau bisa saja membawakan ayat-ayat al-Qur-an yang berisi ucapan hamdalah. Selain itu beliau juga telah menyebutkan perkataan beliau sendiri pada judul bab, sebelum membawakan ayat al-Qur-an. Bahkan beliau lebih dahulu menyebutkan sanad hadits sebelum menyebutkan matan haditsnya.
Adapun jawaban atas bantahan kami ini yakni meskipun secara lafzhiyah, bab dan sanad hadits tercantum sebelum pujian kepada Allah, namun pada hakikatnya dua hal tersebut terletak setelahnya. Jawaban ini masih harus diuji.


وَأَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ قَوْلُ مَنِ ادَّعَى أَنَّهُ ابْتَدَأَ بِخُطْبَةٍ فِيهَا حَمْدٌ وَشَهَادَةٌ فَحَذَفَهَا بَعْضُ مَنْ حَمَلَ عَنْهُ الْكِتَابَ وَكَأَنَّ قَائِلَ هَذَا مَا رَأَى تَصَانِيفَ الْأَئِمَّةِ مِنْ شُيُوخِ الْبُخَارِيِّ وَشُيُوخِ شُيُوخِهِ وَأَهْلِ عَصْرِهِ كَمَالِكٍ فِي الْمُوَطَّأِ وَعَبْدِ الرَّزَّاقِ فِي الْمُصَنَّفِ وَأَحْمَدَ فِي الْمُسْنَدِ وَأَبِي دَاوُدَ فِي السُّنَنِ إِلَى مَا لَا يُحْصَى مِمَّنْ لَمْ يُقَدِّمْ فِي ابْتِدَاءِ تَصْنِيفِهِ خُطْبَةً وَلَمْ يَزِدْ عَلَى التَّسْمِيَةِ وَهُمُ الْأَكْثَرُ وَالْقَلِيلُ مِنْهُمْ مَنِ افْتَتَحَ كِتَابَهُ بِخُطْبَةٍ

Alasan yang paling jauh dari kebenaran ialah pendapat sejumlah orang yang menyatakan bahwa beliau memulai penulisan kitabnya dengan khutbah yang isinya hamdalah dan syahadat namun tulisan itu dihapus oleh sejumlah perawi yang menukil naskah kitab Shahiihul Bukhari ini. Seolah-olah orang yang mengatakan perkataan ini tidak pernah melihat kitab-kitab karya guru-guru Imam al-Bukhari atau alim ulama yang hidup pada masa beliau seperti Imam Malik dengan kitabnya al-Muwaththa', Abdurrazzaq dengan kitab al-Mushannaf, Imam Ahmad dengan kitab al-Musnad, Abu Dawud dengan as-Sunan, dan masih banyak lagi kitab lain yang tidak dibuka dengan khutbah (hamdalah). Mereka hanya menyebut basmalah saja dan itulah yang mayoritas. Sangat sedikit sekali dari mereka yang memulai kitabnya dengan khutbah (hamdalah).

 أَفَيُقَالُ فِي كُلٍّ مِنْ هَؤُلَاءِ إِنَّ الرُّوَاةَ عَنْهُ حَذَفُوا ذَلِكَ كَلَّا بَلْ يُحْمَلُ ذَلِكَ مِنْ صَنِيعِهِمْ عَلَى أَنَّهُمْ حَمِدُوا لَفْظًا وَيُؤَيِّدُهُ مَا رَوَاهُ الْخَطِيبُ فِي الْجَامِعِ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ كَانَ يَتَلَفَّظُ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذا كتب الحَدِيث ولايكتبها وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ إِسْرَاعٌ أَوْ غَيْرُهُ أَوْ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُمْ رَأَوْا ذَلِكَ مُخْتَصًّا بِالْخُطَبِ دُونَ الْكُتُبِ كَمَا تَقَدَّمَ وَلِهَذَا مَنِ افْتَتَحَ كِتَابَهُ مِنْهُمْ بِخُطْبَةٍ حَمِدَ وَتَشَهَّدَ كَمَا صَنَعَ مُسْلِمٌ وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ 

Kemudian, mungkinkah dikatakan terhadap kitab-kitab tersebut bahwa perawinya sengaja menghapus ucapan pembuka? Jawabannya tentu saja tidak. Bahkan menurut kebiasaan, mereka menyebut hamdalah secara lisan. Hal ini didukung oleh sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Jamii', dari Imam Ahmad, bahwa beliau selalu bershalawat kepada Nabi setiap kali menulis sebuah hadits, namun beliau tidak menuliskan shalawat itu. Alasan melakukan itu agar lebih cepat atau karena alasan lain. Atau mungkin mereka menganggap bahwa hamdalah itu khusus dalam khutbah dan tidak berlaku dalam tulisan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Oleh sebab itu ulama yang memulai kitabnya dengan menyebutkan khutbah pembuka, maka pasti menyebutkan hamdalah dan tasyahhud seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim dalam Shahiih-nya. Wallaahu Subhaanahu Wata'aala a'lamu bish-showwaab.

وَقَدِ اسْتَقَرَّ عَمَلُ الْأَئِمَّةِ الْمُصَنِّفِينَ عَلَى افْتِتَاحِ كُتُبِ الْعِلْمِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَذَا مُعْظَمُ كُتُبِ الرَّسَائِلِ وَاخْتَلَفَ الْقُدَمَاءُ فِيمَا إِذَا كَانَ الْكِتَابُ كُلُّهُ شِعْرًا فَجَاءَ عَنِ الشَّعْبِيِّ مَنْعُ ذَلِكَ وَعَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ مَضَتِ السُّنَّةُ أَنْ لَا يُكْتَبَ فِي الشِّعْرِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ جَوَازُ ذَلِكَ وَتَابَعَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ وَقَالَ الْخَطِيبُ هُوَ الْمُخْتَا

Itulah metode penulisan yang baku dikalangan para alim ulama, mereka memulai tulisan-tulisan mereka dengan basmalah. Begitu pula yang didapati dalam sejumlah risalah.
Dan ulama berselisih pendapat apabila sebuah buku hanya berisi syair dimulai dengan basmalah. Diriwayatkan dari asy-Sya'bi bahwa ia melarangnya. Az-Zuhri berkata, "Sunnah yang berlaku adalah tidak menulis basmalah untuk memulai buku-buku syair."
Adapun Sa'id bin Jubair membolehkannya, pendapat inilah yang diikuti jumhur ulama. Menurut al-Khathib, pendapat inilah yang terpilih (lebih benar).

______________________
Diterjemahkan secara bebas oleh Abu Miqdad Abdurrozzaq Al-atsariy.
Bersambung insya Allah.
ذَلِكَ

Beberapa pensyarah Shahiihul Bukhari memberikan jawaban lain, diantaranya: Pertama: Imam al-Bukhari masih ragu antara memulai sesuatu dengan basmalah ataukah dengan hamdalah? Apabila beliau memulainya dengan hamdalah maka hal itu menyelisihi kebiasaan yang sudah berlaku. Namun jika beliau memulainya dengan basmalah berarti ia tidak dianggap dimulai dengan hamdalah. Maka beliau lebih memilih membukanya dengan basmalah saja. Jawaban di atas adalah tidak benar. Seandainya Imam al-Bukhari menyebutkan keduanya tentunya beliau dianggap telah mengawali kitabnya dengan hamdalah untuk hal-hal yang disebutkan dengan tulisan basmalah-nya. Itulah sebabnya beliau tidak mencantumkan kata sambung, karena cara seperti ini lebih sesuai dengan al-Qur-an. Selain itu juga karena para Sahabat memulai penulisan al-Imaamul Kabiir (al-Qur-an) dengan basmalah setelah itu baru menyebut hamdalah. Cara seperti ini diikuti oleh para penulis mus-haf al-Qur-an setelah mereka diseluruh negeri, baik oleh yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat pertama dalam surat al-Fatihah maupun yang tidak.

وَمِنْهَا أَنَّهُ رَاعَى قَوْلَهُ تَعَالَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ الله وَرَسُوله فَلَمْ يُقَدِّمْ عَلَى كَلَامِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ شَيْئًا وَاكْتَفَى بِهَا عَنْ كَلَامِ نَفْسِهِ وَتُعُقِّبَ بِأَنَّهُ كَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَأْتِيَ بِلَفْظِ الْحَمْدِ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَيْضًا فَقَدْ قَدَّمَ التَّرْجَمَةَ وَهِيَ مِنْ كَلَامِهِ عَلَى الْآيَةِ وَكَذَا سَاقَ السَّنَدَ قَبْلَ لَفْظِ الْحَدِيثِ وَالْجَوَابُ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ التَّرْجَمَةَ وَالسَّنَدَ وَإِنْ كَانَا مُتَقَدِّمَيْنِ لَفْظًا لَكِنَّهُمَا مُتَأَخِّرَانِ تَقْدِيرًا فِيهِ نَظَرٌ

Kedua: Imam al-Bukhari menerapkan firman Allah ta'ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ الله وَرَسُوله "Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya..." (QS. al-Hujuraat: 1).Beliau tidak ingin mendahului perkataan apapun sebelum firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Oleh sebab itu beliau tidak perlu mencantumkan perkataan lain meskipun perkataan beliau sendiri. Al-Hafizh: Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena sebenarnya beliau bisa saja membawakan ayat-ayat al-Qur-an yang berisi ucapan hamdalah. Selain itu beliau juga telah menyebutkan perkataan beliau sendiri pada judul bab, sebelum membawakan ayat al-Qur-an. Bahkan beliau lebih dahulu menyebutkan sanad hadits sebelum menyebutkan matan haditsnya. Adapun jawaban atas bantahan kami ini yakni meskipun secara lafzhiyah, bab dan sanad hadits tercantum sebelum pujian kepada Allah, namun pada hakikatnya dua hal tersebut terletak setelahnya. Jawaban ini masih harus diuji.

وَأَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ قَوْلُ مَنِ ادَّعَى أَنَّهُ ابْتَدَأَ بِخُطْبَةٍ فِيهَا حَمْدٌ وَشَهَادَةٌ فَحَذَفَهَا بَعْضُ مَنْ حَمَلَ عَنْهُ الْكِتَابَ وَكَأَنَّ قَائِلَ هَذَا مَا رَأَى تَصَانِيفَ الْأَئِمَّةِ مِنْ شُيُوخِ الْبُخَارِيِّ وَشُيُوخِ شُيُوخِهِ وَأَهْلِ عَصْرِهِ كَمَالِكٍ فِي الْمُوَطَّأِ وَعَبْدِ الرَّزَّاقِ فِي الْمُصَنَّفِ وَأَحْمَدَ فِي الْمُسْنَدِ وَأَبِي دَاوُدَ فِي السُّنَنِ إِلَى مَا لَا يُحْصَى مِمَّنْ لَمْ يُقَدِّمْ فِي ابْتِدَاءِ تَصْنِيفِهِ خُطْبَةً وَلَمْ يَزِدْ عَلَى التَّسْمِيَةِ وَهُمُ الْأَكْثَرُ وَالْقَلِيلُ مِنْهُمْ مَنِ افْتَتَحَ كِتَابَهُ بِخُطْبَةٍ

Alasan yang paling jauh dari kebenaran ialah pendapat sejumlah orang yang menyatakan bahwa beliau memulai penulisan kitabnya dengan khutbah yang isinya hamdalah dan syahadat namun tulisan itu dihapus oleh sejumlah perawi yang menukil naskah kitab Shahiihul Bukhari ini. Seolah-olah orang yang mengatakan perkataan ini tidak pernah melihat kitab-kitab karya guru-guru Imam al-Bukhari atau alim ulama yang hidup pada masa beliau seperti Imam Malik dengan kitabnya al-Muwaththa', Abdurrazzaq dengan kitab al-Mushannaf, Imam Ahmad dengan kitab al-Musnad, Abu Dawud dengan as-Sunan, dan masih banyak lagi kitab lain yang tidak dibuka dengan khutbah (hamdalah). Mereka hanya menyebut basmalah saja dan itulah yang mayoritas. Sangat sedikit sekali dari mereka yang memulai kitabnya dengan khutbah (hamdalah).

أَفَيُقَالُ فِي كُلٍّ مِنْ هَؤُلَاءِ إِنَّ الرُّوَاةَ عَنْهُ حَذَفُوا ذَلِكَ كَلَّا بَلْ يُحْمَلُ ذَلِكَ مِنْ صَنِيعِهِمْ عَلَى أَنَّهُمْ حَمِدُوا لَفْظًا وَيُؤَيِّدُهُ مَا رَوَاهُ الْخَطِيبُ فِي الْجَامِعِ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ كَانَ يَتَلَفَّظُ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذا كتب الحَدِيث ولايكتبها وَالْحَامِلُ لَهُ عَلَى ذَلِكَ إِسْرَاعٌ أَوْ غَيْرُهُ أَوْ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُمْ رَأَوْا ذَلِكَ مُخْتَصًّا بِالْخُطَبِ دُونَ الْكُتُبِ كَمَا تَقَدَّمَ وَلِهَذَا مَنِ افْتَتَحَ كِتَابَهُ مِنْهُمْ بِخُطْبَةٍ حَمِدَ وَتَشَهَّدَ كَمَا صَنَعَ مُسْلِمٌ وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Kemudian, mungkinkah dikatakan terhadap kitab-kitab tersebut bahwa perawinya sengaja menghapus ucapan pembuka? Jawabannya tentu saja tidak. Bahkan menurut kebiasaan, mereka menyebut hamdalah secara lisan. Hal ini didukung oleh sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Jamii', dari Imam Ahmad, bahwa beliau selalu bershalawat kepada Nabi setiap kali menulis sebuah hadits, namun beliau tidak menuliskan shalawat itu. Alasan melakukan itu agar lebih cepat atau karena alasan lain. Atau mungkin mereka menganggap bahwa hamdalah itu khusus dalam khutbah dan tidak berlaku dalam tulisan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Oleh sebab itu ulama yang memulai kitabnya dengan menyebutkan khutbah pembuka, maka pasti menyebutkan hamdalah dan tasyahhud seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim dalam Shahiih-nya. Wallaahu Subhaanahu Wata'aala a'lamu bish-showwaab.

وَقَدِ اسْتَقَرَّ عَمَلُ الْأَئِمَّةِ الْمُصَنِّفِينَ عَلَى افْتِتَاحِ كُتُبِ الْعِلْمِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَذَا مُعْظَمُ كُتُبِ الرَّسَائِلِ وَاخْتَلَفَ الْقُدَمَاءُ فِيمَا إِذَا كَانَ الْكِتَابُ كُلُّهُ شِعْرًا فَجَاءَ عَنِ الشَّعْبِيِّ مَنْعُ ذَلِكَ وَعَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ مَضَتِ السُّنَّةُ أَنْ لَا يُكْتَبَ فِي الشِّعْرِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَعَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ جَوَازُ ذَلِكَ وَتَابَعَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ وَقَالَ الْخَطِيبُ هُوَ الْمُخْتَا

Itulah metode penulisan yang baku dikalangan para alim ulama, mereka memulai tulisan-tulisan mereka dengan basmalah. Begitu pula yang didapati dalam sejumlah risalah. Dan ulama berselisih pendapat apabila sebuah buku hanya berisi syair dimulai dengan basmalah. Diriwayatkan dari asy-Sya'bi bahwa ia melarangnya. Az-Zuhri berkata, "Sunnah yang berlaku adalah tidak menulis basmalah untuk memulai buku-buku syair." Adapun Sa'id bin Jubair membolehkannya, pendapat inilah yang diikuti jumhur ulama. Menurut al-Khathib, pendapat inilah yang terpilih (lebih benar).

______________________
Diterjemahkan secara bebas oleh Abu Miqdad Abdurrozzaq Al-atsariy
Murojaah : Abu Fajri Khusen
Bersambung insya Allah.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah