وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلاَ هُدًى وَلاَ كِتَابٍ مُنِيْرٍ. ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ. ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat. Kami merasakan kepadanya adzab neraka yang membakar. (Akan dikatakan kepadanya): ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya’.” (Al-Hajj: 8-10)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
ثَانِيَ عِطْفِهِ
“Memalingkan lambung atau lehernya.” Ini merupakan gambaran bahwa dia tidak menerima dan berpaling dari sesuatu.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: “Ia menyombongkan diri dari kebenaran jika diajak kepadanya.”
Mujahid, Qatadah, dan Malik dari Zaid bin Aslam mengatakan: “Memalingkan lehernya, yaitu berpaling dari sesuatu yang dia diajak kepadanya dari kebenaran, karena sombong.” Seperti firman-Nya:
وَفِي مُوْسَى إِذْ أَرْسَلْنَاهُ إِلَى فِرْعَوْنَ بِسُلْطَانٍ مُبِيْنٍ. فَتَوَلَّى بِرُكْنِهِ وَقَالَ سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُوْنٌ
“Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka dia (Fir’aun) berpaling (dari keimanan) bersama tentaranya, dan berkata: ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila’.” (Adz-Dzariyat: 38-39)
Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullahu berkata: “Yang benar dari penafsiran tersebut adalah dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala ini tanpa ilmu, bahwa itu karena kesombongannya. Jika diajak kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia berpaling dari yang mengajaknya, sambil memalingkan lehernya dan tidak mau mendengar apa yang dikatakan kepadanya dengan berlaku sombong.” (Tafsir At-Thabari)
لِيُضِلَّ
“Untuk menyesatkan.” Ada yang mengatakan bahwa huruf lam dalam ayat ini adalah menjelaskan tentang akibat. Maknanya yaitu yang berakibat dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Qurthubi rahimahullahu dalam tafsirnya. Adapula yang mengatakan bahwa huruf lam tersebut sebagai ta’li, yang berarti bertujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi)
Penjelasan Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu tatkala menjelaskan ayat ini, mengatakan:
“Perdebatan tersebut bagi seorang muqallid (yang mengikuti satu perkataan tanpa dalil). Perdebatan ini berasal dari setan yang jahat yang menyeru kepada berbagai bid’ah. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa dia mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara mendebat para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para pengikutnya dengan cara yang batil dalam rangka menggugurkan kebenaran, tanpa ilmu yang benar dan petunjuk. Dia tidak mengikuti sesuatu yang membimbingnya dalam perdebatannya itu. Tidak dengan akal yang membimbing dan tidak pula dengan seseorang yang diikuti karena hidayah. Tidak pula dengan kitab yang bercahaya, yaitu yang jelas dan nyata. Dia tidak memiliki hujjah baik secara aqli maupun naqli, namun hanya sekedar menampilkan syubhat-syubhat yang dibisikkan oleh setan kepadanya. (Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman):
وَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.” (Al-An'am: 121)
Bersamaan dengan itu, dia memalingkan lambung dan lehernya. Ini merupakan gambaran tentang kesombongannya dari menerima kebenaran serta menganggap remeh makhluk yang lain. Dia merasa bangga dengan apa yang dia miliki berupa ilmu yang tidak bermanfaat, serta meremehkan orang-orang yang berada di atas kebenaran dan al-haq yang mereka miliki. Akibatnya, dia menyesatkan manusia, yaitu dia termasuk ke dalam penyeru kepada kesesatan. Termasuk dalam hal ini adalah semua para pemimpin kufur dan kesesatan. Lalu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) menyebutkan hukuman yang mereka dapatkan di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ
“baginya di dunia kehinaan.” Yaitu, dia akan menjadi buruk di dunia sebelum di akhirat.
Dan ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakjubkan, di mana tidaklah engkau mendapati seorang da’i yang menyeru kepada kekafiran dan kesesatan melainkan dia akan dimurkai di jagad raya ini. Ia mendapatkan laknat, kebencian, celaan, yang berhak ia peroleh. Setiap mereka tergantung keadaannya.
وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ
“Dan Kami akan merasakan kepadanya pada hari kiamat adzab neraka yang membakar.”
yaitu Kami akan menjadikan dia merasakan panasnya yang dahsyat dan apinya yang sangat panas. Hal itu disebabkan apa yang telah dia amalkan. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berlaku dzalim terhadap hamba-hamba-Nya. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan keadaan orang-orang sesat yang jahil dan hanya bertaqlid dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ
“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat.” (Al-Hajj: 3)
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dalam ayat ini keadaan para penyeru kepada kesesatan dari tokoh-tokoh kekafiran dan kesesatan. Yaitu, di antara manusia ada yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tanpa ilmu, tanpa hidayah, dan tanpa kitab yang bercahaya, yaitu tanpa akal sehat dan tanpa dalil syar’i yang benar dan jelas. Namun hanya sekedar akal dan hawa nafsu. (Tafsir Ibnu Katsir)
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah An-Nadhr bin Al-Harits dari Bani Abdid Dar, tatkala dia berkata bahwa para malaikat ini merupakan anak-anak perempuan Allah. Adapula yang mengatakan yang dimaksud adalah Abu Jahl bin Hisyam, dan ada lagi yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Akhnas bin Syuraiq. Namun ayat ini mencakup setiap yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berakibat menolak kebenaran dan menjauhkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dia orang kafir, munafik, atau dari kalangan ahli bid’ah.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma tatkala beliau menjelaskan makna “ia memalingkan lehernya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah”: “Dia adalah ahli bid’ah.” (lihat Tafsir Al-Qurthubi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tanpa ilmu” ini merupakan celaan terhadap setiap orang yang mendebat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu. Juga merupakan dalil yang menunjukkan bolehnya (berdebat) bila dengan ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim ‘alaihissalam dengan kaumnya.” (Majmu’ Fatawa, 15/267)
Berdebat, antara yang Boleh dan yang Terlarang
Terdapat nash-nash yang menjelaskan tentang tercelanya berdebat dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.” (Ghafir: 4)
dan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ فِي آيَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُوْرِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيْهِ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Ghafir: 56)
Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat.” (Muttafaq Alaihi)
Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ: {مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ}
“Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58) [HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633]
Abdurrahman bin Abiz Zinad berkata: “Kami mendapati orang-orang yang mulia dan ahli fiqih -dari orang-orang pilihan manusia- sangat mencela para ahli debat dan yang mendahulukan akalnya. Dan mereka melarang kami bertemu dan duduk bersama orang-orang itu. Mereka juga memperingatkan kami dengan keras dari mendekati mereka.” (lihat Al-Ibanah Al-Kubra 2/532, Mauqif Ahlis Sunnah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili 2/591)
Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Pokok-pokok ajaran As-Sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh di atas metode para sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan meninggalkan pertengkaran serta duduk bersama pengekor hawa nafsu, juga meninggalkan dialog dan berdebat serta bertengkar dalam agama ini.” (Syarh Al-Lalika`i, 1/156, Mauqif Ahlis Sunnah, Ar-Ruhaili 2/591)
Wahb bin Munabbih rahimahullahu berkata: “Tinggalkan perdebatan dari perkaramu. Karena sesungguhnya engkau tidak akan terlepas dari menghadapi salah satu dari dua orang: (1) orang yang lebih berilmu darimu, lalu bagaimana mungkin engkau berdebat dengan orang yang lebih berilmu darimu? (2) orang yang engkau lebih berilmu darinya, maka bagaimana mungkin engkau mendebat orang yang engkau lebih berilmu darinya, lalu dia tidak mengikutimu? Maka tinggalkanlah perdebatan tersebut!” (Lammud Durr, karangan Jamal Al-Haritsi hal. 158)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan