Bagaimana mungkin agama kita membolehkan terorisme sementara nash-nash dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah menjelaskan bahwa Islam sangat menegakkan keamanan dan menyeru manusia untuk mengadakan perbaikan dan melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi.
Terorisme yang dasarnya adalah keseweng-wenangan terhadap manusia sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dibangun di atas keadilan.
Dan terorisme yang sifatnya kekerasan, menghancurkan, merusak, dst… sangatlah bertolak belakang dengan syari’at Islam yang penuh rahmat dan kebaikan bagi manusia.
Karena itu hukum Islam terhadap pelaku terorisme sangatlah keras dan tegas. Perhatikan hukum Islam tersebut diterangkan dalam keputusan Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama (Lembaga Ulama Besar) No.148 tanggal 12/1/1409 H (9/5/1998 M) yang dimuat oleh majalah Majma’ Al-Fiqh Al-Islâmy edisi 2 hal.181 dan majalah Al-Buhûts Al-Islâmiyah edisi 24 hal.384-387, dengan persetujuan dan tanda tangan para anggota majelis seperti Syaikh Ibnu Bâzz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn, Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shôlih Al-Fauzân, Syaikh Shôlih Al-Luhaidân dan 12 anggota yang lainnya.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . وَبَعْدُ:
Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama dalam sidangnya yang ke-32 yang diselenggarakan di kota Thâ`if dari tanggal 8-12/1/1409 H, berdasarkan bukti-bukti yang kuat berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi perusakan yang telah menelan korban yang sangat banyak dari kalangan orang-orang yang tidak berdosa dan telah rusak karenanya (sesuatu yang) banyak dari harta benda, hak-hak milik maupun fasilitas-fasilitas umum baik di negeri-negeri Islam maupun yang di negeri lain yang dilakukan oleh orang-orang yang lemah atau hilang imannya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang sakit dan dendam. Diantaranya menghancurkan rumah-rumah dan membakarnya baik tempat-tempat umum maupun yang khusus, menghancurkan jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan, peledakan pesawat atau membajaknya. Melihat kejadian-kejadian seperti ini, beberapa negara baik yang dekat maupun yang jauh dan karena Arab Saudi sama seperti negara-negara lainnya, memiliki kemungkinan akan diserbu oleh aksi-aksi perusakan ini, maka Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama melihat sangat pentingnya menetapkan hukuman bagi pelakunya sebagai langkah preventif untuk mencegah orang-orang dari melakukan gerakan perusakan, baik gerakan tersebut dilakukan terhadap tempat-tempat umum dan sarana-sarana milik pemerintah maupun ditujukan kepada yang lainnya dengan tujuan untuk merusak dan mengganggu keamanan dan ketentraman.
Majelis telah meneliti apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa hukum-hukum syari’at secara umum mewajibkan untuk menjaga 5 perkara pokok dan memperhatikan sebab-sebab yang menjaga kelestarian dan keselamatannya, yaitu : agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Dan Majelis telah memperoleh gambaran akan bahaya-bahaya yang sangat besar yang timbul akibat Jarîmah (perbuatan keji) pelampauan batas terhadap Hurumât (hak-hak suci) kaum muslimin pada jiwa, kehormatan dan harta mereka dan apa-apa yang disebabkan oleh aksi-aksi perusakan ini berupa hilangnya rasa keamanan umum dalam negara, timbulnya kekacauan dan kegoncangan dan membuat takut kaum muslimin pada dirinya maupun harta bendanya.
Allah ‘Azza wa Jalla menjaga manusia; agama, badan, jiwa, kehormatan, akal dan harta bendanya dengan disyari’atkannya hudûd (hukum-hukum ganjaran) dan uqûbah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan secara umum dan khusus.
Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Mâ`idah : 32).
Dan firman-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS. Al-Mâ`idah : 33).
Dan penerapan hal tersebut merupakan jaminan untuk meratakan (menyebarkan) rasa aman dan ketentraman dan mencegah orang yang akan menjerumuskan dirinya dalam perbuatan dosa dan melampaui batas tehadap kaum muslimin pada jiwa-jiwa dan harta benda mereka. Dan jumhûr (kebanyakan) ulama berpendapat bahwasanya hukum muhârabah (memerangi pembuat kerusakan) di kota-kota dan selainnya adalah sama, dengan dalil firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Dan berupaya membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al-Mâ`idah : 64)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai perusakan”. (QS. Al-Baqarah : 204-205).
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.(QS. Al-A’râf : 56,85).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’âlâ, “(Allah) telah melarang membuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang membahayakannya setelah diperbaikinya karena sesungguhnya apabila perkara-perkara berjalan di atas As-Sadâd (lurus dan baik) kemudian terjadi kerusakan setelah itu maka itu adalah sesuatu yang paling berbahaya atas para hamba maka (Allah) Ta’âlâ melarang hal tersebut”.
Dan berkata Al-Qurthuby, “(Allah) Subhânahu wa Ta’âlâ melarang setiap kerusakan sedikit maupun banyak setelah perbaikan yang sedikit maupun banyak maka hal ini (berlaku) secara umum menurut (pendapat) yang benar dari berbagai pendapat (yang ada)”.
Berdasarkan penjelasan di atas dan karena apa yang telah lalu penjelasannya melampaui perbuatan-perbuatan para perusak, yang mereka itu memiliki target-target khusus, dimana mereka mengejar hasilnya berupa harta benda atau kehormatan, dan karena sasaran mereka (para pelaku teror itu,-pent.) adalah mengganggu keamanan dan merobohkan bangunan umat dan membongkar aqidahnya dan melencengkannya dari manhaj Rabbâny (manhaj yang haq), maka majelis dengan sepakat memutuskan (hal-hal) sebagai berikut :
Pertama : Siapa yang terbukti secara syar’i melakukan suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan gangguan keamanan dan menganiaya jiwa-jiwa dan harta benda baik milik khusus maupun yang milik umum seperti menghancurkan rumah-rumah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah atau rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, penampungan-penampungan air, fasilitas-fasilitas umum untuk baitul mal seperti saluran-saluran/pipa-pipa minyak, dan menghancurkan pesawat atau membajaknya dan yang semacamnya, maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan ayat-ayat di atas bahwasanya perusakan di muka bumi yang seperti ini mengharuskan penumpahan darah si perusak. Dan karena bahaya dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan perusakan adalah lebih besar dari bahaya dan kerusakan pembegal jalanan yang melampaui batas kepada seseorang lalu membunuh dan merampas hartanya, maka Allah telah menetapkan hukumannya dalam apa yang tersebut dalam ayat Al-Harabah (QS. Al-Mâ`idah : 33 di atas,-pent.).
Kedua : Bahwasanya sebelum menjatuhkan hukuman sebagaimana point di atas (yaitu dibunuh-pent.), harus menyempurnakan Al-Ijrâ`ât (urusan, administrasi) pembuktian yang lazim di Pengadilan-pengadilan syari’at, Hai‘ah At-Tamyîz dan Mahkamah Agung dalam rangka barâ`atun lidzdzimmah (pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan kehati-hatian terhadap nyawa. Dan untuk menunjukkan bahwasanya negeri ini (Arab Saudi,-pent.) terikat dengan segala ketentuan syari’at untuk membuktikan kejahatan dan menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang perlunya memberitakan tentang hukuman ini melalui media massa.
Salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan shahabatnya.
Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama
Sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/hukum-terorisme-dan-pelakunya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan