Sesungguhnya para ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di tengah umat dan telah dipuji dan dijelaskan keutamaan mereka dalam berbagai nash ayat maupun hadits. Karena itu kita diperintah untuk merujuk kepada mereka dalam segala urusan. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tiada mengetahui.” (QS. An-Nahl : 43, Al-Anbiyâ` : 7)
Pada perkara yang penting dan menyangkut kemashlahatan umat, kita diwajibkan untuk menyerahkan urusannya kepada para ulama,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisâ` : 83)
Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyatakan,
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Berkah itu bersama orang-orang tua (ulama) kalian”. [1]
Dan fitnah akan bermunculan apabila para ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dalam sabdanya,
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, (dimana) akan dibenarkan padanya orang yang berdusta dan dianggap dusta orang yang jujur, orang yang berkhianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap berkhianat dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhoh. Ditanyakan : “Siapakah Ar-Ruwaibidhoh itu?” Beliau berkata : “Orang dungu yang berbicara tentang perkara umum.” [2]
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam juga mengingatkan,
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusiapun mengambil para pemimpin yang bodoh maka merekapun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka sesatlah mereka lagi menyesatkan.” [3]
Dan perlu kami ingatkan disini, bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Mereka adalah para ahli fiqih Islam dan ucapan-ucapan mereka adalah fatwa yang berputar di tengah manusia, yang mempunyai kekhususan dalam mengambil pendalilan hukum dan sangat menjaga (berhati-hati) dalam menetapkan kaidah-kaidah halal dan haram.” [4]
Dan beliau berkata, “Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara Nawâzil (masalah kontemporer).” [5]
Berkata Ath-Thobary, “Mereka adalah tiang agama dalam fiqih, ilmu, perkara-perkara agama dan dunia.” [6]
Berkata Adz-Dzahaby, “Ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, akan tetapi ia adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati. Syaratnya adalah ittibâ’ (mengikuti Al-Qur`ân dan As-Sunnah) dan lari dari hawa nafsu dan perbuatan bid’ah.” [7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan diantara sifat mereka, “Orang yang mempunyai lisan kejujuran yang merata, dimana ia disanjung dan dipuji oleh kebanyakan umat. Mereka itulah para imam petunjuk dan lentera penerang.” [8]
Ingatlah… orang-orang yang hanya punya keahlian menggetarkan mimbar-mimbar ceramah belum tentu ulama. Demikian pula orang-orang yang baru menulis satu atau dua buku, punya keahlian membicarakan masalah-masalah kekinian, lantang menentang dan menampilkan sikap, punya kelompok, partai, golongan dan seterusnya. Maka jangan salah menilai seperti keadaan banyak manusia pada zaman ini.
Juga perlu kami ingatkan bahwa banyak hal yang menyebabkan jauhnya umat dari para ulama. Di antaranya adalah jauhnya kebanyakan umat dari ilmu syar’iy dan mereka lebih sibuk dengan urasan dunia atau berkiblat kepada selain kiblat kaum muslimin. Juga banyak di antara mereka yang bersandar pada kemampuannya sendiri sehingga memahami agama hanya dengan jalur membaca sendiri (otodidak) tanpa mempedulikan penting dan perlunya memahami ilmu itu dari ulama para pewaris nabi. Sebab yang paling banyak menjerumuskan umat kita kepada penyimpangan dan keberpalingan dari para ulama adalah adanya para penyeru kepada kesesatan yang berusaha menampilkan diri sebagai tokoh-tokoh umat dan menjauhkan para pemuda dari ulamanya. Dan insya Allah kami akan lebih merinci masalah ini.
Sebab kelima : Mengikuti ideologi menyimpang.
Suatu hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa seluruh kelakuan, gerak dan perbuatannya diatur oleh pemikiran dan keyakinannya, sehingga manusia itu pasti tergiring oleh pemikirannya, baik ataupun rusak pemikiran tersebut.
Karena itu, salah satu sebab penting timbulnya terorisme adalah kerusakan dan kesesatan pemikiran serta samarnya kebenaran dari kebatilan terhadap para pelaku terorisme tersebut.
Kerusakan ideologi ini muncul karena beberapa faktor pokok,
Satu : Adanya kerancuan dalam manhajut talaqqi (metode pengambilan ilmu). Dimana orang-orang yang menyimpang dalam ideologinya tersebut mengambilnya dari sumber-sumber yang salah atau menimba ilmu dari orang-orang yang menganut pemikiran rusak atau keyakinan sesat, bukan dari alim ulama yang dikenal dengan keluasan ilmunya, keteguhan manhaj dan sebagai penasehat umat. Mereka pun kemudian melampaui batas dengan ideologinya dan larut dalam hawa nafsunya. Maka wajar kalau mereka terjerumus dalam berbagai penyimpangan dan kesesatan serta berucap atas nama Allah tanpa ilmu. Dan hasilnya, mereka akan sesat dan menyesatkan.
Dua : Mengambil nash secara tekstual tanpa fiqih yang mendalam, tidak menggunakan kaidah-kaidah pemetikan/penyimpulan hukum dari sebuah dalil dan tidak memperhitungkan pemahaman ulama dalam masalah tersebut serta tidak pernah menoleh kepada alasan-alasan manusia yang kadang jatuh dalam sebuah kesalahan karena suatu udzur syar’iy.
Perlu diketahui bahwa metodologi seperti ini sangatlah berbahaya dan merupakan sebab penyimpangan dan kesesatan yang sangat fatal. Betapa banyak kerusakan yang menggerogoti manusia dalam masalah pengkafiran terhadap kaum muslimin, menghalalkan darah-darah yang diharamkan untuk ditumpahkan dalam hukum syari’at, dan sejumlah masalah besar lainnya. Dan sangat menyedihkan karena seluruh sumber kerusakan tersebut adalah karena ideologi yang menyimpang ini.
Tiga : Perang pemikiran dan tipu daya iblis yang menjangkit di tengah umat melalui jalur para dai penyeru kepada kesesatan yang menganut berbagai bentuk penyimpangan yang bisa mendorong manusia kepada peledakan, perusakan dan seterusnya dari aksi-aksi terorisme.
Empat : Mengikuti hawa nafsu. Yaitu kadang seseorang mengetahui yang benar, namun hawa nafsu lebih mendominasi pada dirinya sehingga ia lupa pada kebenaran tersebut atau sengaja melupakannya. Dan akhirnya, ia akan mencari alasan-alasan yang membenarkan perbuatannya yang bejat.
Yang jelas, apapun faktor yang mendasari penyimpangan ideologi tersebut, tidaklah hal tersebut dibenarkan oleh syari’at, walaupun pelakunya menganggap dirinya berada di atas kebenaran. Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang sekelompok penduduk neraka yang mendapat siksaan yang pedih, sedang mereka menganggap dirinya berada di atas kebenaran,
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi : 103-105)
[1] Hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath 9/no. 8991, Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil 2/77, 5/259, Al-Hâkim 1/62, Ibnu Hibbân no. 559, Al-Bahaiqy dalam Syu’abul Îmân 7/463, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/171-172, Al-Qadhâ’iy dalam Musnad Asy-Syihâb 1/57, As-Sam’âny dalam Adabul Imlâ` hal. 120, Al-Khathîb 11/165 dan lain-lain. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Silsilah Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 1778.
[2] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Ahmad 2/291, 338, Ibnu Majah no.4036, Al-Hakim 4/465-466, 512 dan lain-lainnya. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 1887 dan guru kami, Syaikh Muqbil rahimahullâh dalam kitabnya Ash-Shohîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fi Ash-Shohihain. Dan Syaikh Al-Albany menshohihkan jalan lain bagi hadits di atas dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Baca Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 2253.
[3] Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 100, 7307 dan Muslim no. 2673, At-Tirmidzy no. 2657, An-Nasâ`i dalam Al-Kubrô 3/455 no. 5907 dan Ibnu Mâjah no. 52.
[4] I’lâmul Muwaqqi’în 1/18.
[5] I’lâmul Muwaqqi’în 4/212.
[6] Jâmi’ul Bayân 3/327.
[7] Siyar A’lâmun Nubalâ` 13/323.
[8] Majmû’ Al-Fatâwâ 11/43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan