Judul di atas adalah jawaban yang diberikan oleh Ka’ab Al-Ahbar kepada Umar Bin Khotob ketika beliau bertanya tentang makna takwa kepada Ka’ab. Kemudian Ka’ab berkata, “apa yang anda lakukan?” Umar pun menjawab, “Aku berhati-hati dan berusaha agar tidak tertusuk”. “itulah takwa!” jawab Ka’ab.
Karena itu Ibnul Mu’taz berkata:
Tinggalkanlah segala dosa, meski yang kecil
Maupun yang besar, karena itulah hakikat ketakwaan
Berlakulah seperti pejalan kaki di atas jalan berduri
Dia menghindari setiap duri yang dilihatnya
Jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil, sebab
Sesungguhnya gunung yang besar juga terangkai dari batu-batu kerikil
Sesungguhnya seorang muslim dituntut untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar dianugerahi ketakwaan. Sesungguhnya do’a seperti ini menjadi bagian do’a Nabi, padahal beliau adalah manusia yang paling takut dan bertakwa kepada Allah. Beliau berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya akau memohon hidayah, ketakwaan, kesucian dan sifat cukup kepada-Mu” (HR. Muslim)
Ketakwaan merupakan pakaian terbaik yang telah Allah perintahkan kepada kita untuk kita kenakan, serta bekal terbaik yang Dia perintahkan untuk kita jadikan bekal, selain takwa tidak ada yang pantas untuk dijadikan bekal dalam pengembaraan kita menuju negeri akherat yang penuh dengan kenikmatan. Kenikmatan abadi yang tidak pernah terputus, kekal abadi selama-lamanya. Dan dunia pastilah berkesudahan. Ketakwaan juga merupakan hak Allah Ta’ala atas segenap hamba-Nya. Yaitu, agar mereka bertakwa kepada-Nya denga sebenar-benar takwa. Dan ketakwaan merupakan wasiat-Nya bagi generasi awal hingga akhir. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan juga kepada kalian agar bertakwalah kepada Allah” (Annisa:131)
Wasiat Takwa
Secara garis besar takwa merupakan wasiat Allah kepada semua makhluk-Nya dan juga wasiat Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Adalah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengutus seorang pemimpin dalam peperangan, beliau mewasiatkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah bersama kaum muslimin (HR. Muslim 1731)
Ketika Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam khutbah pada haji wada’, beliau mewasiatkan kepada manusia agar bertakwa kepada Allah Ta’ala dan patuh serta taat kepada pemimipin kaum muslimin (HR. Muslim 1297, 1838)
Para salafusholih juga senantiasa saling mewasiatkan kepada ketakwaan. Adalah Abu Bakar Shidiq radiyallahu’anhu berkata di dalam khutbahnya berkata, “ ‘amma ba’du, aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah Ta’ala, senantiasa memuji kepada-Nya karena Dialah yang berhak dipuji, gabungkanlah rasa harap dan takut, dan memohonlah kepada Allah dengan dengan sebenar-benarnya, karena Allah Subhanahu Wata’ala memuji Zakaria dan ahli baitnya. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh mereka selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan, dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami” (Al-Anbiya : 90)
Seorang laki-laki berkata kepada Yunus bin ‘ubaid, ‘berilah aku wasiat!’, maka beliau berkata kepadanya, ‘aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan yang berbuat kebaikan.
Dan dikatakan kepada seorang tabi’in menjelang wafatnya, ‘berilah kami wasiat’, kemudian beliau berkata, “Aku wasiatkan kalian dengan penutup surat an-nahl : ‘Sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan yang berbuat kebaikan’ (An-Nahl ;128)
Bertakwalah Wahai Hamba Allah
Menurut bahasa takwa berarti menjaga diri atau berhati-hati. Adapun menurut istilah syar’I, para ulama telah memberikan beragam definisi tentang takwa. Secara umum, semuanya berkisar pada satu makna, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi segala hal yang dilarang.
Thalq bin Habib berkata, “Takwa artinya Anda melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu dan iman) dari Allah karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya, karena takut terhadap siksa-Nya”
Ali bin Abi Tholib berkata, “Takwa adalah takut kepada Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa, mengamalkan kandungan Al-Qur’an, merasa cukup dengan yang sedikit dan mengambil bekal untuk perjalanan menuju akherat”
Rukun Ketakwaan
1) Ikhlas
2) Ittiba’ (Mengikuti Petunjuk Rosul)
Allah Ta’ala berfirman, “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qobil) menurut apa yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil), dan tidak deterima dari yang lain (Qobil). Ia (Qobil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ berkata Habil, ‘sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa’.”(Al-Maidah : 27)
Banyak orang berbeda pendapat tentang firman Allah : “Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang bertakwa”
-golongan khowarij dan mu’tazilah berpendapat bahwa kebaikan tidak akan diterima kecuali dari orang yang bertakwa secara mutlak, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar.
-golongan murji’ah berpendapat bahwa kebaikan hanya diterima dari orang yang menjaga dirinya dari kesyirikan. Mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar termasuk kategori orang-orang yang bertakwa.
-sedangkan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kebaikan diterima dari orang yang bertakwa di dalam amal tersebut, yaitu sebuah amal yang tulus karena Allah Ta’ala dan sesuai dengan perintah-Nya (mencontoh Rosul). Maka siapa saja yang bertakwa di dalam amalnya, amal tesebut akan diterima walaupun dia melakukan kemaksiatan dalam hal lainnya. Dan siapa yang tidak bertakwa dalam amal tersebut, maka amal tersebut tidak akan diterma, walaupun dia taat dalam hal lainnya.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata tentang firman Allah Ta’ala, “Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”. Bahwa amal yang terbaik adalah amal yang paling ikhlas dan benar. Kemudian orang-orang bertanya kepada beliau, “wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan amal yang paling ikhlas dan benar?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya sebuah amal jika ikhlas tetapi tidak benar, maka amal tersebut tidak akan diterima, dan jika amal tersebut benar tetapi tidak ikhlas, maka tidak akan diterima pula. Amal tersebut akan diterima jika benar dan ikhlas. Ikhlas artinya hanya untuk Allah Ta’ala, sedangkan benar artinya sesuai dengan sunnah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Sebagaimana kita semua diperintahkan agar hanya takut kepada Allah Ta’ala, bertawakal hanya kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya, memohon pertolongan hanya kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya, kita juga diperintahkan agar mengikuti Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentaatinya dan menjadikannya suri tauladan. Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan olehnya, yang haram adalah sesutau yang diharamkan olehnya dan ajaran agama adalah segala Sesuatu yang ditetapkannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sekiranya mereka mau puas dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rosul-Nya, dan berkata, “cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rosul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah” (At-Taubah : 59)
Allah Ta’ala menjadikan sumber hukum hanya milikNya dan RosulNya, sesuai dengan firmanNya, “Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras siksaNya” (Al-Hasyr : 7)
3) Ilmu
Imam Ibnu Rajab rahimahulloh mengatakan, “Pokok ilmu adalah pengetahuan terhadap Allah Ta’ala yang mendatangkan rasa takut dan cinta kepada-Nya, serta selalu mendekat dan rindu kepada-Nya. Selanjutnya adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah Ta’ala dan segala apa yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala dari hamba-Nya berupa perkataan, perbuatan, keadaan maupun keyakinan. Siapa saja yang terwujud dua ilmu ini pada dirinya maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Ia memperoleh ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang merasa puas dan do’a yang didengar”
Abu Darda radiyallahu’anhu berkata, “Kamu selamanya tidak akan menjadi orang yang bertakwa sampai kamu berilmu, dan ilmu tersebut tidak akan menjadikanmu baik sampai kamu mengamalkannya”
Mungkinkah seorang yang bertakwa tapi tidak memiliki ilmu?! Dari mana seseorang mengetahui perintah dan larangan Allah Ta’ala kalau dia tidak menuntut ilmu?! Sebuah kemustahilan seseorang bisa mewujudkan penghambaan dirinya kepada Allah Ta’ala secara sempurna jika dia tidak memiliki ilmu tentangnya.
Jelaslah bagi kita ilmu merupakan syarat mutlak menggapai ketakwaan yang sebenarnya.
Keutamaan Takwa
Banyak keutamaan takwa di dalam Al-Qur’an, diantarnya :
Amal yang bisa mengangkat derajat seseorang di dalam surga (Az-Zumar : 20)
Allah Ta’ala bersama orang-orang yang bertakwa (An-Nahl : 128)
Takwa adalah sebaik-baik bekal seorang hamba di dunia dan di akherat (Al-Baqoroh : 197)
Dimudahkan urusan di dunia dan di akherat, serta dimudahkan rizkinya (Ath-Tholaq : 4)
Takwa sebagai sebab seorang hamba dicintai Allah Ta’ala (Al-Imron : 76)
Surga diwariskan bagi orang-orang yang bertakwa (Maryam : 63)
Ciri-ciri Orang Yang Bertakwa
Allah Ta’ala berfirman, “Dan bersgeralah kamu mencari pengampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosanya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka adalah ampunan dari Rabb mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal” (Ali’Imron : 133-136)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan