Di antara manusia terdapat segolongan orang yang mengetahui kesalahannya dan mengetahui keharaman perbuatan yang dilakukannya, namun dia masih saja menunda-nunda taubat dan selalu mengucapkan: “Nanti dulu.”
Di antara mereka ada yang menundanya sampai menikah, lulus sekolah, bahkan sampai menginjak usia senja dan karena berbagai alasan penundaan lainnya.
Ini merupakan kesalahan besar sebab bertaubat wajib dilakukan secara langsung. Pasalnya, semua perintah Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa bertaubat itu wajib dilaksanakan secara langsung, selama tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehan menunda pelaksanaannya. Bahkan, menunda taubat merupakan salah satu dosa yang wajib dimohonkan ampunan kepada Allah Azza wa Jalla.
Al Ghazali rahimahulla berkata: “Tidak ada keraguan mengenai kewajiban bertaubat secara langsung. Sebab mengenali berbagai kemaksiatan sebagai sesuatu yang membinasakan merupakan sebagian dari iman, maka itu wajib dilakukan dengan segera.” [1]
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Bertaubat dengan segera merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ditunda. Setiap kali seorang hamba menunda taubat, berarti ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan apabila ia sudah bertaubat dari dosa yang dilakukannya, maka tinggal kewajiban untuk bertaubat dari perbuatan menunda pelaksanaan taubat.”
Jarang sekali hal ini terlintas dalam pikiran orang yang bertaubat, bahkan menurutnya, apabila sudah bertaubat dari dosa ia lakukan, berarti tidak ada lagi kewajiban lain yang harus ia laksanakan, yaitu bertaubat dari perbuatan menunda-nundanya.” [2]
Dalam kitab Qisharul Amal, Ibnu Abid Dunya rahimahulla menyebutkan, dari Ikrimah rahimahullah, dalam firman Allah Azza wa Jalla:
“…Dan mereka menduga-duga tentang yang ghaib dari tempat yang jauh.” [QS.Saba': 53]
Ia berkata: “Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Bertaubatlah’, maka mereka menjawab: ‘Nanti dulu.” [3]
Seharusnya seorang hamba segera bertaubat sebab ini memang kewajiban baginya. Tujuannya agar dosa-dosanya tidak menjadi pembungkus hatinya sehingga sulit dihapus atau ia tidak didahului oleh angan-angan yang selalu mengiringi dosanya.
Selain itu, menunda taubat justru merupakan penyebab sulitnya bertaubat dan pendorong iuntuk melakukan dosa yang lainnya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya jika seorang mukmin melakukan dosa, maka tertorehlah noda hitam dihatinya. Apabila ia bertaubat dan berhenti dari dosa itu dan memohon ampun kepada Allah, maka hatinya mejadi bersih dari noda tersebut. Apabila dosanya bertambah, maka bertambah pula noda tersebut sampai menutupi hatinya. Itulah noda yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya : ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup (menjadi noda) hati mereka.” [4] [QS. al-Muthaffifiin:14]
Ibnu Jauzi rahimahullah berkata: “Wahai, orang-orang yang menyia-nyiakan usianya, sampai kapan engkau akan menunda taubat? Tidak ada alasan bagimu untuk menundanya! Sampai kapan orang akan berkata kepadamu: ‘Hai orang yang terfitnah dan tertipu?’ Kasihan sekali kamu ini! Bulan-bulan kebaikan telah berlalu, namun kamu masih menghitung bulan-bulan itu. Apakah kamu tahu amalan itu diterima atau ditolak? Apakah kamu tahu bahwa dirimu adalah orang yang menyambung tali silaturrahim atau yang memutuskannya? Apakah kamu tahu kelak akan meniti kebahagiaan atau pada mukamu tergambar penyesalan? Apakah kamu mengetahui bahwa dirimu adalah salah seorang penghuni Neraka atau Istana?” [5]
Beliau rahimahullah juga berkata: “Kelalaian apakah ini, padahal kalian bias menyaksikan? Ketidaksadaran apakah ini, padahal kalian masih terjaga? Bagaimana bisa kalian melupakan perbekalan, sementara kalian sedang bepergian? Berapa banyak orang-orang terdahulu sebelum kalian telah meninggal, apakah kaian tidak berpikir? Tidakkah kalian menyaksikan bagaimana Allah menempatkan mereka pada posisi yang merugikan? Mereka tidak mampu memberikan satu wasiat pun dan tidak juga bisa kembali kepada keluarganya.” [6]
Note :
[1] Ihyaa-u ‘Uluumiddiin [IV/7]
[2] Madaarijus Saalikiin [I/283]
[3] Qisharul Amal karya Ibnu Abid Dunya hal.141
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad (II/298), at Tirmidzi (no.3334) dan beliau menyatakan bahwa hadits tersebut derajatnya hasan shahih, Ibnu Majah (no.4244), an Nasa-i dalam kitab al Kubra (no.11658), Ibnu Hibban (no.930), serta al Hakim (II/562) dan beliau menshahihkannya. Sementara itu, adz Dzahabi berkata: ‘Menurut syarat Muslim.’ Diriwayatkan juga oleh al Baihaqi dalam Sunan-nya (X/188). Semua periwayatan ini diambil dari jalan Muhammad bin ‘Ajlan, dari al Qa’qa’ bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah. Ibnu ‘Ajlan haditsnya Hasan, sebagaimana Muslim telah menyebutkannya dalam kitab al Mutaaba’aat. Adapun sanad-sanad hadits yang lain semuanya terpercaya.
[5] Bahrud Dumuu’ karya Ibnul Jauzi, tahqiq Ibrahim Bajis hal.57
[6] Ru’uusul Qawaariir karya Ibnul Jauzi hal.152
Sumber: disalin ulang dari buku “Cara Bertaubat Menurut al Qur’an dan as Sunnah” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd (hal.71-74), Penerbit: Pustaka Imam asy Syafi’ie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan