Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Jumat, 07 Mei 2010

Secara umum, ada tawasul yang halal dan ada yang haram.

Secara bahasa tawasul artinya taqarrub, yaitu mendekatkan diri. Adapun secara Syar’i, tawasul artinya: Menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam permohonan kepada Allah agar permohonan itu lebih dikabulkan. (Lihat Mu’jam Lughah Fuqaha’, bagian entri “tawasul”).

Secara umum, ada tawasul yang halal dan ada yang haram. Tawasul yang halal, misalnya dengan: Meminta doa dari kaum Muslimin, atau meminta doa dari orang shalih; menyebut amal shalih yang telah dilakukan dengan ikhlas, lalu memohon pertolongan Allah dengan kebaikan amal itu; membaca Asmaul Husna dalam berdoa; membaca Al Qur’an sekian banyak, lalu berdoa setelahnya; berdzikir dengan kalimat-kalimat thaiyibah sekian banyak, lalu memohon kepada Allah sesudah itu; membaca shalawat Nabi sekian banyak, lalu berdoa setelah itu; beramal shalih sebaik-baiknya, ikhlas karena Allah, lalu berdoa setelah itu. Pendek kata, tawasul ini dilakukan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

Seperti disebut dalam hadits Bukhari-Muslim, dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ada tiga orang yang terperangkap di sebuah gua, sedangkan mulut gua tertutup oleh batu besar. Mereka tidak bisa keluar dari gua tersebut. Lalu mereka memohon pertolongan kepada Allah dengan tawasul sambil menyebut amal-amal shalih yang telah mereka lakukan masing-masing. Atas ijin Allah, batu itu sedikit-sedikit bergeser sampai mereka bisa keluar dari gua dengan selamat. Sedangkan tawasul dengan meminta didoakan oleh seseorang, adalah sesuatu yang dikenal sejak jaman Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam.

Adapun tawasul dengan benda-benda keramat, dengan arwah kaum Muslimin yang telah meninggal, dengan kedudukan para Malaikat, kedudukan para Nabi dan Rasul, tawasul dengan peristiwa-peristiwa sejarah, dengan kuburan, masjid, dan sebagainya, semua itu dilarang. Semua itu tidak diperbolehkan!

Apa alasannya melarang tawasul seperti itu?

PERTAMA, Nabi dan para Shahabat tidak pernah mencontohkan cara tawasul seperti itu. Nabi tidak pernah bertawasul, misalnya dengan mengatakan, “Dengan karamah Syaikh Abdul Qadir Jailani, ya Allah kabulkanlah doaku ini!”

Sebagian orang mungkin akan mendebat, “Ya Nabi kan hidupnya lebih dulu dari Syaikh Abdul Qadir. Coba, kalau Nabi hidupnya belakangan dari Syaikh Abdul Qadir, mungkin beliau akan tawasul dengan namanya!”

Ya Ilahi ya Rahmaan, kalau begitu seolah kedudukan Syaikh Abdul Qadir lebih mulia dari Nabi. Mengapa bukan Syaikh Abdul Qadir saja yang menjadi Nabi? Laa haula wa laa quwwata illa billah. Sebelum Nabi pun sudah ada orang-orang shalih, seperti para Nabi dan Rasul As., tetapi Nabi tidak pernah bertawasul dengan kedudukan mereka di sisi Allah.

KEDUA, tawasul seperti itu bisa menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan syirik, yaitu berdoa kepada makhluk atau mengagungkan makhluk melebihi kedudukannya. Perbuatan syirik harus sangat dijauhi. Jangan karena sangat ingin doa dikabulkan, lalu jatuh dalam kesyirikan. Na’udzubillah min dzalik.

Sebuah contoh faktual. Ketika seseorang sering bertawasul dengan ucapan, “Aku memohon kepada Allah dengan kemuliaan dan karamah Syaikh Abdul Qadir Jailani.” Ucapan seperti ini lambat atau cepat akan membuat hati seseorang mengagungkan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Mereka akan merasa takut kepada arwah Syaikh Jailani, sangat berharap kepadanya, takut sial karenanya, memuja dirinya, senang mendengar cerita-cerita fantastik tentangnya, dan lain-lain. Hal itu banyak terjadi di kalangan masyarakat awam. Fakta di lapangan, mereka sering menempelkan gambar yang diklaim sebagai Syaikh Abdul Qadur Jailani di dinding.

KETIGA, Allah Ta’ala memperingatkan orang-orang yang berdoa kepada Nabi, orang shalih, Malaikat, ulama, dan lainnya. Atau menjadikan mereka sebagai wasilah (perantara) pengabulan doa. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Orang-orang yang mereka berdoa kepadanya (kepada Nabi, orang shalih, Malaikat, dan lainnya), mereka sendiri mencari wasilah kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang paling dekat (kepada-Nya); mereka mengharapkan rahmat-Nya, dan mereka takut kepada adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (Al Israa’: 57).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang shalih, termasuk Malaikat di dalamnya, mereka sendiri mencari wasilah untuk mendekat kepada Allah. Wasilah yang dimaksud adalah amal-amal kebajikan yang mereka lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti Shalat, puasa, menyembelih qurban, sedekah, jihad, dan lainnya. Sebab mereka tidak dikenal pernah mencari wasilah dengan hal-hal yang dilarang, seperti arwah orang shalih, kuburan, benda-benda keramat, dan lainnya. Coba datangkan satu bukti saja, adakah orang-orang shalih di masa lalu melakukan tawasul dengan perkara-perkara yang dilarang?

Perhatikan ayat di atas! Nabi dan Rasul, orang-orang shalih, Malaikat, dan lainnya justru bersungguh-sungguh mencari jalan untuk mendekat kepada Allah. Lalu bagaimana kita akan menjadikan mereka sebagai wasilah yang akan mendekatkan kita kepada Allah? Orang-orang shalih itu mengharap rahmat Allah dan takut adzab-Nya; mereka tidak bisa dimintai pengabulan doa kepadanya.

==> Bukankah tawasul dengan arwah orang mati sama saja dengan tawasul dengan orang yang masih hidup?

Tawasul dengan orang yang masih hidup, caranya dengan meminta doanya, atau mengingat-ingat amal shalih yang telah dilakukan, lalu berdoa dengan kebaikan dari amal shalih itu. Tetapi kalau tawasulnya dengan mengatakan misalnya, “Ya Allah aku memohon kepadamu dengan kemuliaan, keshalihan, karamah dari hamba-Mu yang shalih ini, yang bernama Fulan bin Fulan.” Ya, tawasul seperti ini juga tidak boleh, sebab di dalamnya ada pengagungan terhadap manusia secara berlebihan.

Salah satu contoh yang baik adalah ketika Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam menyarankan agar para Shahabatnya kalau bertemu Uwais Al Qarani radhiyallahu ‘anhu, mereka meminta kepadanya agar didoakan agar diampuni oleh Allah. (HR. Muslim dari Umar bin Khattab Ra.). Hingga ketika Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu bertemu dengannya, beliau mendapati ciri-cirinya sama seperti yang disebutkan oleh Nabi. Maka Khalifah yang mulia itu –semoga Allah Ta’ala meridhainya- meminta agar Uwais memohonkan ampunan baginya kepada Allah, dan Uwais pun melakukannya. Ketika memuji Uwais radhiyallahu ‘anhu, Nabi mengatakan, “Sesungguhnya sebaik-baik pengikutku adalah seseorang yang dipanggil Uwais, dia mempunyai seorang ibu, dan pada kulitnya terdapat belang (bekas penyakit) berwarna putih. Maka temuilah dia, dan mintalah dia agar memohonkan ampunan bagi kalian.” (HR. Muslim).

Nah, inilah contoh tawasul yang benar, yaitu meminta didoakan oleh orang shalih yang diakui kebaikan-kebaikannya. Kita tidak pernah mendapati para Shahabat berdoa kepada Allah dengan ucapan seperti, “Ya Allah, dengan karamah dan kedudukan mulia Fulan bin Fulan di sisi-Mu, maka kabulkanlah doaku ini.” Tidak ada contoh seperti itu. Ia hanyalah tipuan amal yang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam penyimpangan tauhid.

==> Bukankah kalau orang shalih meninggal, karamahnya tidak ikut lenyap? Bukankah jika orang shalih itu sudah wafat, karamahnya masih bisa dimintai bantuan untuk memudahkan pengabulan doa?

Keyakinan seperti ini tidak ada dasarnya. Ia hanya lamunan, ilusi, atau akal-akalan saja. Tidak ada dalil Al Qur’an dan Sunnah yang mendukung hal itu.

Lagi pula, kita harus kembali ke pangkal masalahnya. Karamah itu diberikan oleh Allah kepada seseorang karena keimanan, keshalihan, dan ketaqwaannya. Lha, kalau dia sudah meninggal, otomatis terputus amal-amalnya. Seperti kata Nabi, “Jika anak Adam meninggal, terputus amalnya, kecuali sedekah jariyah, ilmu yang bisa diambil manfaatnya, dan anak shalih yang mendoakannya.” Jadi karamah itu lenyap bersama wafatnya seseorang. Persis seperti mu’jizat Kenabian yang lenyap bersama wafatnya Nabi yang bersangkutan. (Kecuali mu’jizat Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam berupa Al Qur’an). Karamah atau mu’jizat arwah yang telah meninggal tidak bisa dimintai bantuan, sebagaimana Nabi dan orang-orang shalih itu juga tidak bisa mengabulkan doa. Maka tidak ada alasan meminta bantuan kepada arwah kaum Muslimin yang telah wafat, hatta seshalih apapun dirinya.

Demikian kajian ringkas tentang tawasul. Semoga bermanfaat. Mohon dimaafkan atas kesalahan dan kekurangan yang ada. Wallahu a’lam bisshawaab.

http://abisyakir.wordpress.com/2009/02/22/hukum-melakukan-tawasul/

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah