Assalaamu 'alaikum..
jama'ah...oh jama'ah..
Alhamdulillah kita akan lanjutkan kajian tafir kita, masih tentang hamdalah. tapi sebelumnya kita muroja'ah dulu kjian kemaren.
Kemaren kita telah mengetahiu betapa kuatnya pemilihan kata الحمد "alhamdu" dibanding kata-kata pujian lainnya yakni المدْحُ (al-madhu) dan الشكر (as-syukru). Masih ingat, kan?
sekarang kita mencoba meneliti mengapa Allah memilih menggunakan isim, lebih tepatnya isim mashdar? Kenapa Allah tidak menggunakan fi’il?
Allah berfirman dengan الحمد لله "alhamdu lillahi", kenapa tidak berfirman dengan أحمد الله "ahmadu lillahi"(fi’il mudhari mengandung fa’il dhamir ana, artinya aku memuji dengan pujian الحمد "alhamdu" kepada Allah) atau نحمد الله "nahmadu" (fi’il mudhari mengandung fa’il dhamir nahnu, artinya kami memuji dengan pujian الحمد "alhamdu" kepada Allah)?.
Ya itu terserah Allah dong, mau pake alhamdu atau ahmadu, atau nahmadu, kita sami'na wa atho'na saja.
Ya ya, benar.. kita bertanya begitu bukan dalam rangka menggugat firman Allah, kita hendak mengungkap bahwasanya ada rhikmh tersembunyi dibalik setiap susunan kalimat dalam al-Qur'an al-karim ini. ayo kita cari tahu!!
gini loh, sobat sunnah sekalian, jika pujian الحمد "alhamdu" dibuat dengan fi’il, maka pujiannya itu terbatas pada pujian yang dilakukan oleh si pelaku (fa’il/subjek).
أحمد الله "ahmadu lillah" artinya Aku memuji dengan pujian الحمد "alhamdu" pada Allah. Belum tentu orang lain ikut memuji Allah.
نحمد الله "nahmadu lillahi" artinya Kami memuji pada Allah, belum tentu selain kami ikut memuji-Nya.
Sedangkan isim الحمد "alhamdu" tidak berkaitan dengan fi’il orang tertentu, semuanya memuji, baik aku, kita dan semua makhluk yang ada turut memuji. Sebab itu pemilihan kata dengan isim mashdar lebih kuat daripada fi’il.
Kemudian perkataan dengan fi’il seperti أحمد الله "ahmadu lillah", juga mengandung arti belum tentu yang dipuji itu memang memiliki hak atau layak untuk dipuji dengan pujian الحمد "alhamdu" (dan Maha suci Allah dari semuan ini). Lebih jelasnya begini:
أحمد فلانا "ahmadu fulaanan" (Aku memuji dengan pujian الحمد "alhamdu" pada si fulan), padahal menurut orang lain si fulan sebetulnya tidak pantas untuk dipuji dengan pujian الحمد "alhamdu", sebab fulan memiliki sifat-sifat tercela.
Jadi jika pujian disusun dengan kalimat fi’il maka pengakuan pujiannya itu relatif.
Kemudian fi’il itu terkait dengan suatu zaman tertentu, fi’il madhi terkait dengan perilaku yang lampau (past tense) sedangkan mudhari’terkait dengan masa yang akan datang. Tetapi jika dengan isim maka tidak terkait dengan waktu dan zaman. Pujian الحمد "alhamdu" bagi Allah mutlaqah ghairu muqoyad, pujian mutlak tidak terikat oleh zaman tertentu tetapi awal dan kekal.
Dalam tafsir Ar-razi dikatakan الحمد لله "alhamdu lillahi":
Sesungguhnya Dia terpuji dengan pujian الحمد "alhamdu" pun sebelum para pemuji dengan pujian الحمد "alhamdu" tersebut memuji-Nya, sebelum orang-orang yang memuji dengan الشُكْرُ "asy syukru" itu mengucapkan pujian syukurnya. Sama saja para hambanya memuji atau tidak, maka Dia Ta’ala tetaplah terpuji dengan pujian الحمد "alhamdu", sejak zaman azali sampai berabad-abad mendatang. Pujian الحمد "alhamdu"-nya kekal abadi dan firman-Nyapun kekal abadi.
Kalimat أحمد الله "ahmadu lillahi" merupakan jumlah fi’liyah sedangkan Kalimat الحمد لله "alhamdu lillahi" merupakan jumlah ismiyah.
Jumlah fi’liyah menunjukkan waktu kejadian tertentu sedangkan jumlah ismiyah menunjukkan sesuatu yang tetap, tidak berubah atau tsubut. Karena itu pemilihan kalimat ini menggunakan jumlah ismiyah lebih kuat dari pada dengan jumlah fi’liyah, sebab menunjukkan tetap dan langgengnya pujian.
Jadi makna الحمد لله "alhamdu lillah"dilihat dari susunan jumlahnya (yaitu jumlah ismiyah) yaitu:
Sesungguhnya pujian الحمد "alhamdu" adalah hak Allah, dan Dialah yang paling berhak menyandang pujian ini pada zat-Nya. Sesungguhnya Dia terpuji dengan pujian الحمد pun sebelum para pemuji dengan pujian الحمد tersebut memuji-Nya, sebelum orang-orang yang memuji dengan الشُكْرُi "asy syukru" tu mengucapkan pujian syukurnya. Sama saja para hambanya memuji atau tidak, maka Dia Ta’ala tetaplah terpuji dengan pujian الحمد, sejak zaman azali sampai berabad-abad mendatang. Pujian الحمد "alhamdu"-nya kekal abadi dan firman-Nyapun kekal abadi.
Sementara cukup sekian dulu kajian tafsir kita pada kesempatan kali ini, alhamdu lillah ini edisi ke-5.
jangan lupa keep muroja'ah.
latihan (sesion 2) :
1. Apa fungsi huruf ba dalam lafazh basmalah?
2. Apa perbedaan ar rahmaan dan ar Rahiim ?
3. apa fungsi alif lam dalam lafazh ar rahmaan dan ar Rahiim ?
4. Apakah kebiasaan rasulullah menuliskan basmalah dalam suratnya?
5. Silhkan bertanya jika ada perkara yang belum jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan