Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Kamis, 13 Mei 2010

Surat Balasan Untuk Ibunda.....

Kepada yang kucinta....
Bundaku yang tersayang....

Segala puji bagi Allah Ta'ala yang telah memuliakan kedudukan orang tua, dan telah menjadikan mereka sebagai pintu tenga syurga. Shalawat serta salam, hamba yang lemah ini panjatkan keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para shabatnya hingga hari kiamat. Amiiin….

Ibu …. Aku terima suratmu yang engkau tulis dengan airmata dan duka, dan aku telah membacanya, ya aku telah mengejanya kata demi kata …. Tidak ada satu huruf pun yang aku lewatkan.
Tahukah engkau, wahai Ibu, bahwa aku membacanya semenjak isya' dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah terbit dan adzan telah dikumandangkan?! Sebenarnya surat yang engkau tulis tersebut jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah, sekiranya diletakkan ke atas daun yang hijau tentu dia akan kering. Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut tidak tersudu oleh itik dan tidak tertelan oleh ayam. Sebenarnyalah bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan…. bagaikan awan kaum Tsamud yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan…

Ibu …. Aku baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak, sekiranya surat itu ditulis oleh orang yang bukan ibu dan ditujukan pula bukan kepadaku, layaklah orang yang membaca itu menangis sejadinya-jadinya. Bagaimana kiranya yang menulis itu adalah bunda dan surat itu ditujukan untuk diriku sendiri?

Aku sering membaca kisah dan cerita sedih, tidak terasa bantal yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata, aku juga sering menangis melihat tangisnya anak yatim piatu atau menitikkan air mata melihat sengasaranya hidup si miskin. Aku acap kali tersentuh dengan suasana yang baru dan keadaan yang memilukan, bahkan pada binatang sekalipun. Bagaimana pula dengan surat yang ibu tulis itu? Ratapan yang bukan Ibu karang atau sebuah drama yang bukan Ibu perankan?! Akan tetapi adalah sebuah kenyataan …..

Bunda yang kusayangi,
Sungguh berat cobaan mu … sungguh malang penderitaanmu… semua yang telah engkau sebutkan benar adanya. Aku masih ingat ketika engkau ditinggal ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak disekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan. Dengan jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yang engkau ambil tersebut sebagai hutang dan hendaklah dicatat telebih dulu. Hutang yang engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan dapat melunasinya.

Ibu…. Aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engakau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama engkau jemur dan keringkan, tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera. Atau aku masih ingat, engkau sengaja ambilkan air didih dari nasi yang sedang dimadak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.

Ibu…. Maafkanlah anakmu ini, aku tahu bahwa semenjak engkau gadis sebagaimana yang diceritakan oleh nenek, sampai engkau telah tua sampai sekarang, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan. Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu. Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia kecuali keitka kami masih anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu tidak ada kebahagiaan. Hari-harimu adalah perjuangan. Semua hidupmu hanya pengorbanan.

Ibu…. maafkan anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang isteri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaqnya, ayng telah engkau sanjung pada suku dan negerinya!! Engkau katakana ketika itu padaku, "Ambillah ia sebagai isterimu, gadis yang pemalu yang pandai bergaul, cantik dan berakhlak mulia, punya hasab dan nasab!"

Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa denganmu. Keberadaan dia sebagai isteriku telah membuat aku lupa posisi engkau sebagai ibuku, senyuman dan sapaanya telah membuatku terlena dengan sapaan dan himbauanmu.

Ibu …. Aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena ia telah menunaikan kewajibannya sebagai seorang isteri, terutama perhatiannya dalam berbakti kepadamu, seudah berapa kali ia memintaku untuk menyediakan waktu untuk menziarahimu. Hari yang lalu ia telah membuatkan makanan buatmu, akan tetapi aku tidak punya waktu mengantarkannya, hingga makanan itu menjadi basi…

Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa namanya dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini, di mataku dia adalah isteri yang baik, isteriyang telah berupaya berbuat banyak untuk kebahagian rumah tangganya.

Ibu… ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan.sekali lagi maafkan aku! Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku…. Anakmu ini! Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang aku alami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah dan perubahan jiwa ketika hanya mengenal dirimu, tapi kini aku telah mengenal satu wanita lagi.

Ibu… perkawinanku membuatku masuk ke dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah kukenal, dunia yang hanya aku, isteri dan anakku! Bagaimana tidak, isteri yang baik dan anak-anak yang lucu-lucu. Maafkan aku ibu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang lain, yang penting bagiku adalah keadaan mereka.

Ibu… Maafkan aku, anakmu. Aku telah lalai… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu! Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya. Oleh sebab itu dilarang mencintai ana secara berlebih-lebihan dan anak dilarang berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya.

Itulah yang terjadi pada diriku wahai Ibu!. Aku seperti orang linglung ketika melihat anakku sakit, aku seperti otang kebingungan ketika melihat anakku diare. Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu atau ayah!

Ibu… Sulit aku merasakan perasaanmu! Kalaulah bukan karena bimbingan agama yang telah engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya! Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.

Setelah suratmu datang, baru aku mengerti! Karena selama hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahn berat yang engkau hadapi selama ini.

Sekarang baru aku mengerti, bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anaknya telah menikah dengan eanita. Di matanya wanita yang telah mendampingin putranya itu adalah manusia yang paling beruntung.

Bagaimana tidak! Dia dapatkan seorang laki-laki yang telah matang pribadi dan matang ekonomi dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya. Dengan detak jantungnya ia peroleh kematangan jiwa dan dari uang ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi. Sekarang dengan ikhlas ia berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungan dengannya, kecuali hubungan dua wanita yang saling berebut perhatian seorang laki-laki. Laki-laki sebagai anak dari ibunya, dan ia sebagai suami dari isterinya.

Ibuku sayang ….
Maafkanlah aku Ibu. Ampuni diriku. Setetes air matamu adalah lautan api bagiku. Janganlah engkau menangis lagi, jangan engkau berduka lagi! Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka! Aku takut ibu … aku Cuma cemas dengan banyaknya dosaku kepada Allah sekarang bertambah pula dengan dosaku terhadapmu. Dengan apa aku mendapatkan ridho Allah, sekiranya engkau tidak meridhoiku? Apa gunanya semua kemulian sekiranya di matamu aku tidak punya kebaikan? Bukankah ridho Allah tergantung dengam ridhomu dan sebaliknya, bukankah kemurkaan Allah tergantung denga kemurkaanmu? Tahukah engkau ibu, seburuk-buruknya diriku, aku masih merasakan takut kepada murka Allah!! Apalah jadinya hidup, jika hidup itu penuh dengan murka dan laknat, serta jauh dari berkah dan nikmat?

Kalau akan murka itu pula yang aku peroleh, izinkan aku membuang semua kebahagiaan selama ini, demi hanya untuk menyeka air matamu! Kalu akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau, mau engkau berbuat apa.

Sungguh aku tidak mau masuk neraka! Sekalipun wahai bunda, aku memiliki kekuasaan seluas Fir'aun, mempunyai kekayaan sebanyak kekayaan Qarun dan mempunyai keahlian setinggi ilmu Haman. Pastikan wahai bunda, tidak akan aku tukar dengan kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat. Siapa pula yang tahan dengan adzab neraka, wahai Bunda.

Ibu… Maafkan anakmu! Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah Ta'ala, bahwa engkau belum mengangkatnya ke langit! Maka ampun wahai Ibu! Aku angkat seluruh jemariku dan sebelas dengan kepala untuk meminta maaf kepadamu. Kalaulah itu yang terjadi, do'a itu tersampaikan, salah ucap pula lisanmu, apalah jadinya nantI diriku? Tentu kebinasaan yang telak. Tentu diriku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir, apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do'akan atasku kebinasaan, tentu akau akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan dahannaya tidak bida sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula!

Kalaulah do'amu terucap atasku, wahai ibu! Maka tidak ada lagi gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan.

Ibu … dalam sepanjang sejarah anak manusia kubaca, tidak ada seoang yang bahagia setelah terkena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan tekena kutuk di akhirat, tentu lebih sengsara!

Ibu… Setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kehilafan, kealpaan dan kelalaianku. Suratmu akan kujadikan "jimat" dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu, akan aku baca ulang kembali tiap kali aku lengah darimu, dan akan kutalqin diriku dengannya. Akan kusimpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya dala kotak wasiatku. Akan kusampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah mereka dulu pernah lalai dalam berbakti, lalu ia sadar dan kembali kepada kebenaran, ayah mereka pernah berbuat salah, sehinggga ia telah menyakiti hati orang yang seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.

Tua… siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Bunda? Badanku yang saat ini tegap, rambutku hitam, kulitku kencang, akan datang suatu masa badan yang tefap ini akan ringkih dimakan usia, rambut yang hitam akan dipernuhi uban ditelan oleh masa dan kulit yang kencang akan menjadi keriput ditelan zaman.

Burung elang akan terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yang tinggi, suatu saat nanti ia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung kecil lainnya. Singa si raja hutan yang selalu memangsa, jika telah tiaba tuanya, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal buruk yang akan dipertanggungjawabkan.

Ibu, doakan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu di masa banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke langit munajatmu untukku agar aku memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akhirat.

Ibu… Sesampainya suratku ini, insya Allah, tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, antaraku denganmu, bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, tawamu adalah tawaku, tangismu adalah tangisku. Aku berjaniji untuk selamanya, dan aku berharap aku dapat mebahagiaakanmu selagi mataku masih bisa berkedip.

Bahagiakanlah dirimu… Baunglah segala kesedihan, cobalah tersenyum ibunda. Ini kami, aku, isteri, dan anak-anak sedang bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.
Salam hangat dari anakmu
***********************************
Oleh Abu Muhammad
Armen Halim Naro Lc. Rahimahullah Ta'ala
***********************************

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah