Bazzaz Al-Anshari mengisahkan.
Aku tinggal dekat Mekah Al-Mukarramah. Suatu hari aku kelaparan,
tidak ada sepotong makanan yang dapat mengganjal perutku, sampai
akhirnya kutemukan sebuah kantong sutra berhias rumbai-rumbai sutra.
Aku mengambil dan membawa pulang kantong itu. Setelah aku buka,
ternyata isinya adalah seuntai kalung mutiara yang sangat indah tiada tara.
Ketika keluar dari rumah, aku mendengar ada seorang tua yang
membawa-bawa kantong berisi uang 500 dinar berseru, “Akan kuberikan
uang ini bagi siapa saja yang mengembalikan kepadaku kantong yang
berisi kalung mutiara.”
Mendengar itu aku bergumam, “Aku sedang kekurangan dan
kelaparan, akan kuambil dinar emas itu dan akan kukembalikan kantong
miliknya.”
Aku kemudian berkata kepada orang tua itu, “Kemari, kek!” Aku
mengajaknya ke rumah, lalu dia menyampaikan padaku semua ciri-ciri
kantong, rumbai-rumbai, dan kalung mutiara lengkap dengan jenis benang
yang digunakan untuk merangkainya. Aku mengeluarkan kantong itu dan
memberikannya. Sesuai janjinya, dia kemudian memberikan lima ratus
dinar, tapi aku tolak, “Aku harus mengembalikan kantong itu kepada Anda
tanpa meminta balas jasa sepeserpun.”
Namun, dia berkata, “Kamu harus mengambilnya,” ia terus
mendesakku, tapi tetap aku tolak, sampai dia pergi meninggalkanku.
Tak lama berselang, aku meninggalkan Mekah dengan menaiki sebuah
kapal. Di tengah pelayaran, kapal yang kutumpangi bocor dan tenggelam.
Banyak penumpang dan harta bawaan yang tenggelam, sedangkan aku
selamat dengan berpegangan pada sebuah potongan kayu kapal. Arus laut
menghanyutkanku entah kemana.
Singkat cerita, aku terdampar di sebuah pulau yang ditinggali oleh
sekelompok orang. Tak tahu harus kemana, aku masuk ke sebuah masjid
dan membaca al-Qur’an. Ternyata, banyak orang yang mendengar
bacaanku. Mereka berkumpul di sekelilingku dan berkata, “Ajarkan kami
al-Quran.”
Sejak saat itu aku mengajarkan al-Qur’an kepada mereka sampai aku
berhasil mengumpulkan banyak uang sebagai hasil jerih payahku
mengajarkan al-Qur’an.
Waktu berlalu, sampai suatu saat ketika aku sedang membaca lembaran
mushaf Qur’an di masjid, beberapa orang bertanya kepadaku, “Apakah
kamu dapat menulis?”
“Ya,” jawabku.
“Tolong ajari kami tulis menulis,” kata mereka.
Tak lama berselang, mereka kembali bersama anak-anak dan para
pemuda untuk kuajari tulis-menulis. Sekali lagi aku berhasil mendapatkan
uang banyak sebagai hasil jerih payahku mengajar mereka tulis-menulis.
Waktu berlalu, ketika pada suatu hari orang-orang datang kepadaku
menyampaikan sesuatu, “Ada seorang gadis yatim yang kaya tinggal di sini,
kami memintamu untuk menikahinya,” ujar mereka.
Aku terkejut mendengar permintaan mereka. Aku menolaknya, tetapi
mereka terus mendesakku, sampai aku tak kuasa menolak permintaan
mereka.
Ketika dipertemukan dengan gadis yatim itu, aku terkejut, karena gadis
itu mengenakan kalung yang dulu pernah kutemukan dan telah
kukembalikan kepada pemiliknya. Mataku tak berkedip melihat kalung di
lehernya itu, sampai orang-orang di sekelilingku berkata, “Wahai Syaikh,
mengapa kau hancurkan hati gadis itu dengan lebih memperhatikan
kalung di lehernya dan mengabaikannya.”
Aku ceritakan kisahku dan kalung itu dari awal.
Selesai mendengar ceritaku, tiba-tiba mereka menyerukan takbir dan
tahlil, sampai hampir seluruh penduduk pulau itu mengetahui apa yang
terjadi.
Dengan heran aku bertanya, “Apa gerangan yang terjadi?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Kakek tua yang menerima
kalungnya darimu adalah ayah gadis ini. Dulu, dia pernah berdoa, ‘Aku
tidak pernah menemukan seorang muslim seperti pemuda yang
mengembalikan kalungku ini. Oleh karena itu, ya Allah, pertemukan aku
dengannya untuk aku jodohkan dengan anakku.’”
Kini, aku telah menikah dengan gadis yatim itu sampai kami dikaruniai
dua orang anak. Beberapa saat kemudian, istriku wafat, meninggalkan
kalung mutiara dan dua orang anak.
Setelah anakku meninggal, tinggallah aku dengan kalung bersejarah
itu. Kalung itu lalu kujual seharga 1000 dinar dan kulanjutkan hidupku
dengan hartaku itu.
Kisah ini tentang wara’ Dinukil dari Al-Mukhtar min Faraid An-Nuqul wa Al-Akhbar,jilid 3, hal. 63-67 dan Thabaqat Al-Hanabilah, jilid 1, hal. 196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan