rahimahullah berkata,
“ Tidaklah sampai
kepadaku suatu hadits
dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam melainkan aku
pasti beramal
dengannya. ”
Amr bin Qais al-Mala’i
rahimahullah berkata,
“ Apabila sampai
kepadamu hadits dari
Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wa sallam maka
beramallah dengannya
meskipun hanya sekali
agar kamu termasuk
penganutnya. ” Syaikh
Abdurrazzaq berkata,
“ Maksud ucapan beliau;
beramallah dengannya
meskipun hanya sekali,
adalah dalam perkara
sunnah dan amalan yang
dianjurkan sedangkan
dalam perkara wajib
maka tidak cukup
mengamalkannya sekali
kemudian bisa disebut
sebagai
penganutnya. ” (lihat
Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal
karya Syaikh Dr.
Abdurrazzaq al-Badr,
hal. 27)
Jangan tertipu dengan
amalmu!
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan
ingatlah tatkala Ibrahim
membangun pondasi
Ka ’bah dan juga Isma’il,
mereka berdua berdoa;
‘ Wahai Rabb kami
terimalah amal
kami ’.” (QS. al-Baqarah:
127). Wuhaib bin al-
Ward rahimahullah
ketika membaca ayat ini
maka ia pun menangis
dan berkata, “Wahai
kekasih ar-Rahman!
Engkau bersusah payah
mendirikan pondasi
rumah ar-Rahman,
meskipun demikian
engkau merasa khawatir
amalmu tidak
diterima !” (lihat Tsamrat
al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)
Jadilah contoh yang
baik!
Malik bin Dinar
rahimahullah berkata,
“ Sesungguhnya seorang
alim/ahli ilmu apabila
tidak mengamalkan
ilmunya maka
nasehatnya akan luntur
dari hati sebagaimana
aliran air hujan yang
melintasi bongkahan
batu. ” al-Ma’mun pernah
berkata, “Kami lebih
membutuhkan nasehat
dengan perbuatan
daripada nasehat
dengan ucapan. ” Syaikh
Abdurrazzaq
menceritakan: Suatu
saat aku mengunjungi
salah seorang bapak
yang rajin beribadah di
suatu masjid yang dia
biasa sholat di sana.
Beliau adalah orang
yang sangat rajin
beribadah. Ketika itu dia
sedang duduk di masjid
-menunggu tibanya
waktu sholat setelah
sholat sebelumnya-
maka akupun
mengucapkan salam
kepadanya dan
berbincang-bincang
dengannya. Aku pun
berkata kepadanya,
“ Masya Allah, di daerah
kalian ini banyak
terdapat para penuntut
ilmu. ” Dia berkata,
“Daerah kami ini!”.
Kukatakan, “Iya benar,
di daerah kalian ini
masya Allah banyak
penuntut ilmu. ” Dia
berkata, “Daerah kami
ini!”. Dia mengulangi
perkataannya kepadaku
dengan nada
mengingkari. “Daerah
kami ini?!”. Kukatakan,
“Iya, benar.” Maka dia
berkata, “Wahai
puteraku! Orang yang
tidak menjaga sholat
berjama ’ah tidak layak
disebut sebagai seorang
penuntut ilmu. ” (lihat
Tsamrat al-’Ilmi
al-’Amal, hal. 36-37).
Alangkah benar
perkataan bapak tua
tersebut, Ibnu Umar
mengatakan, “Dahulu
kami -para sahabat-
apabila tidak menjumpai
seseorang pada jama ’ah
sholat subuh dan isyak
maka kami pun menaruh
prasangka buruk
kepadanya -jangan-
jangan dia munafik,
pent-. ” (HR. Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir
dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi
al-’Amal, hal. 37).
Bukankah tolabul ilmi
amalan yang utama?
Abdullah bin al-Mu’taz
rahimahullah berkata,
“ Ilmu seorang munafik
itu terletak pada
ucapannya, sedangkan
ilmunya seorang mukmin
terletak pada amalnya. ”
Sufyan rahimahullah
pernah ditanya,
“ Menuntut ilmu yang
lebih kau sukai ataukah
beramal ?”. Maka beliau
menjawab,
“ Sesungguhnya ilmu itu
dimaksudkan untuk
beramal, maka jangan
kau tinggalkan menuntut
ilmu dengan alasan
beramal, dan jangan kau
tinggalkan amal dengan
alasan menuntut
ilmu. ” (lihat Tsamrat
al-’Ilmi al-’Amal, hal.
44-45).
Ya Allah, jadikanlah ilmu
kami hujjah untuk
membela kami, bukan
hujjah yang
menjatuhkan kami …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan