Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Rabu, 17 Februari 2010

Kisah Khidhr Bersama Nabi Musa (3)

12. Dijelaskan dalam kisah ini, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing pemiliknya kepada kebaikan. Demikian pula halnya ilmu-ilmu yang mengandung bimbingan dan hidayah atau petunjuk menuju jalan kebaikan dan mengingatkan agar menjauhi jalan yang buruk atau yang mengarah kepadanya, semuanya adalah ilmu yang bermanfaat. Sedangkan yang selain itu, boleh jadi hanya akan menimbulkan madharat atau tidak berguna sama sekali. Inilah yang diisyaratkan dalam ayat tadi: أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu).
13. Diajarkan pula kepada kita dari kisah ini, bahwa seseorang yang tidak sanggup bersabar dalam menyertai guru atau pendidiknya, atau tidak memiliki kekuatan untuk tetap tsabat (teguh) dalam menempuh jalan mencari ilmu, maka dia bukanlah termasuk orang yang dikatakan pantas untuk menerima ilmu. Barangsiapa tidak mempunyai kesabaran untuk menuntut ilmu, niscaya dia tidak akan mendapatkannya. Sebaliknya, siapa yang sanggup bersabar dan membiasakan diri menghadapi suatu permasalahan, niscaya dia akan memperoleh semua yang ingin dicapainya. Dan Khidhr telah memberikan penjelasan kepada Nabi Musa p bahwa beliau tidak akan sanggup bersabar untuk mengetahui ilmu khusus yang ada padanya.
Adapun hal-hal yang dapat mendukung seseorang bersabar menghadapi sesuatu adalah pengetahuan terhadap permasalahan itu, manfaat, buah atau hasilnya. Barangsiapa tidak mengetahui beberapa perkara ini, akan sulit baginya untuk bersabar. Allah k berfirman menceritakan perkataan Khidhr kepada Nabi Musa p:

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا

“Dan bagaimana kamu dapat bersabar terhadap sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” (Al-Kahfi: 68)
14. Dalam kisah ini, dianjurkan berhati-hati dan teliti serta tidak terburu-buru menghukumi suatu permasalahan sampai yang diinginkan atau yang dimaksud benar-benar jelas.
15. Dalam kisah ini terdapat dalil disyariatkannya menyandarkan suatu keadaan yang akan terjadi kepada kehendak Allah (masyi`atullah), seperti disebutkan dalam ayat:

سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ صَابِرًا وَلاَ أَعْصِي لَكَ أَمْرًا

“Insya Allah engkau akan dapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69)
16. ‘Azam (keinginan yang kuat) untuk melaksanakan sesuatu tidaklah sama dengan pelaksanaannya. Dan Nabi Musa p memang berazam untuk sabar namun beliau tidak melaksanakannya.
17. Pelajaran lain dari kisah ini, apabila seorang pendidik melihat adanya kemaslahatan dengan menerangkan kepada muridnya agar tidak bertanya tentang suatu permasalahan hingga dia (pendidik itu) sendiri yang menerangkan masalah itu kepadanya (maka hendaknya dia lakukan). Dan sesungguhnya kemaslahatan itu senantiasa mengikuti. Sebagaimana halnya bila seorang murid mempunyai pemahaman kurang sempurna, hendaknya guru melarang muridnya memberatkan diri untuk meneliti suatu permasalahan sedemikian rupa dan bertanya tentang persoalan yang tidak ada kaitannya dengan topik yang diajarkan.
18. Bolehnya mengendarai sebuah kapal jika memang tidak membahayakan.
19. Diterangkan pula dalam kisah ini bahwa seorang yang lupa tidak pantas dihukum, baik terlupa (melanggar) hak Allah atau hak hamba-hamba-Nya. Kecuali apabila pelanggaran itu menimbulkan kerusakan atau kerugian harta benda. Maka dalam permasalahan ini perlu adanya dhiman (ganti rugi), termasuk orang yang lupa. Allah k berfirman tentang perkataan Nabi Musa p kepada Khidhr:

قَالَ لاَ تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيْتُ

“Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku.” (Al-Kahfi: 73)
20. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, sepantasnya seseorang melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan sikap toleran dan pemaafan mereka. Janganlah membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu melakukannya, sangat memberatkan, atau bahkan menghancurkan mereka. Kalau ini terjadi, tentu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk menjauh. Bahkan hendaknya dia juga mempunyai sikap memudahkan (urusan orang), agar semua urusannya juga mudah.
21. Semua permasalahan itu terjadi berdasarkan kenyataan lahiriahnya. Dan berangkat dari hal ini pula ditegakkan hukum-hukum duniawi dalam berbagai persoalan. Dikatakan demikian, karena kita lihat sikap Nabi Musa p mengingkari tindakan Khidhr merusak kapal yang mereka tumpangi dan membunuh seorang remaja, berdasarkan ketentuan umum yang berlaku. Dan beliau tidak melihat kepada perjanjian yang disepakatinya bersama Khidhr untuk tidak bertanya dan membantah semua tindakannya sampai Khidhr sendiri yang memulai memberikan penjelasan.
22. Dalam kisah ini kita dapatkan juga keterangan yang jelas tentang kaidah penting dalam syariat Islam ini, yaitu bolehnya mencegah terjadinya kejahatan yang besar dengan melakukan kejahatan yang lebih ringan, dan keharusan menjaga kemaslahatan yang lebih besar meskipun akibatnya kehilangan kemaslahatan yang lebih kecil. Jadi, pembunuhan yang dilakukan Khidhr jelas kejahatan. Namun apabila anak itu tetap hidup sampai dewasa dan menyesatkan kedua ibu bapaknya, maka ini adalah kejahatan yang jauh lebih besar.
Bila anak itu dibiarkan tetap hidup meskipun kelihatan baik secara lahiriah, namun keberadaan ibu bapaknya dalam agama mereka jauh lebih baik lagi. Oleh karena itulah Khidhr membunuhnya sesudah Allah mengilhamkan kepadanya hakekat keadaan anak tersebut. Dengan demikian ilham batin yang diterima Khidhr mempunyai kedudukan yang sama seperti keterangan yang nyata bagi orang lain.
Kaidah lainnya adalah tentang tindakan manusia terhadap harta orang lain. Bila dilakukan dengan cara yang mengandung maslahat dan jauh dari kerusakan, maka hal ini dibolehkan meskipun tanpa izin. Meskipun perbuatannya itu merugikan, seperti perbuatan Khidhr yang merusak kapal yang ditumpanginya untuk menyelamatkan kapal itu dari rampasan seorang raja dzalim ketika itu. Dan masih banyak faedah lain yang berada di bawah kaidah-kaidah ini.
23. Bolehnya bekerja di lautan sebagaimana juga bolehnya bekerja di daratan, karena adanya ayat:

يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ

“Mereka bekerja di laut…” (Al-Kahfi: 79)
24. Faedah lainnya, membunuh termasuk dosa-dosa besar.

http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=332

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah