وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلاَّ الشَّيْطَانُ
“Dan tidaklah ada yang membuat saya lupa mengingatnya kecuali setan.” (Al-Kahfi: 63)
6. Boleh menceritakan apa yang dirasakan oleh diri sendiri kepada orang lain, seperti letih, lapar atau dahaga dan tabiat manusiawi lainnya. Dengan syarat, jujur dalam mengucapkannya dan bukan didorong oleh kejengkelan atau tidak suka terhadap semua keadaan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah k tentang perkataan Nabi Musa p:
لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا
“Sungguh kita telah merasa letih dengan perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62)
7. Diajarkan kepada kita dalam kisah ini untuk mengambil seorang pembantu yang cerdas dan rajin agar bisa menyempurnakan semua urusan yang diinginkan. Dan sangat dianjurkan untuk memberi makan seorang pembantu dari apa yang dimiliki atau memakannya bersama-sama. Karena lafadz ayat آتِنَا غَدَاءَنَا (bawalah kemari makanan kita), artinya (makanan) untuk semuanya. Diambil dari pengertian ayat ini bahwa pertolongan itu diperoleh seseorang sesuai dengan sejauh mana dia menjalankan hal-hal yang disyariatkan. Dan barangsiapa yang amalannya sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah k, niscaya dia akan ditolong dengan sesuatu yang belum tentu diterima oleh orang lain. Hal ini adalah karena firman Allah k tentang ucapan Nabi Musa p لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (Sungguh kita telah merasa letih dengan perjalanan kita ini) menunjukkan perjalanan yang telah melampaui pertemuan dua buah laut itu. Sedangkan perjalanan yang pertama mereka tempuh, beliau belum mengeluhkannya meskipun sudah demikian jauhnya.
8. Hamba Allah yang ditemui oleh Nabi Musa p bukanlah seorang nabi. Khidhr hanyalah seorang hamba yang shalih yang mempunyai ilmu dan senantiasa mendapat ilham (dari Allah). Ini juga berdasarkan sebutan Allah dan pujian-Nya, di mana Allah menyebut Khidhr sebagai seorang hamba yang istimewa dan mempunyai ilmu, serta sifat-sifat yang baik lainnya. Allah tidak menyebutnya sebagai nabi atau rasul. Adapun perkataan Khidhr yang disebutkan Allah k di akhir kisah ini:
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي
“Dan tidaklah aku melakukannya menurut kehendakku sendiri.” (Al-Kahfi: 82)
Ungkapan tersebut tidaklah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang nabi.
Kalimat tersebut tidak lain hanyalah menyatakan bahwa semua itu adalah ilham dan bimbingan dari Allah. Hal ini mungkin saja terjadi pada orang-orang yang kedudukannya bukan nabi. Sebagaimana Allah k berfirman:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ...
“Dan Rabbmu telah mewahyukan kepada lebah itu...” (An-Nahl: 68)
Dan:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى...
“Dan telah Kami wahyukan kepada ibu Musa...” (Al-Qashash: 7)
9. Dalam kisah ini diterangkan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba-Nya ada dua jenis:
Pertama: Ilmu yang diusahakan, yang dapat difahami oleh seseorang dengan mempelajarinya dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.
Kedua: Ilmu yang berupa ilham laduni, sebagai hadiah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan dalil:
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)
Dan Khidhr mendapat bagian sangat banyak dari ilmu jenis yang kedua ini.
10. Dalam kisah ini diterangkan kepada kita agar mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa. Firman Allah k:
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (Al-Kahfi: 66)
Dalam ayat itu disebutkan cara Nabi Musa p mengeluarkan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat. Seakan-akan beliau menyebutkan: “Apakah engkau bersedia memberi izin kepada saya, ataukah tidak?” Di sini beliau tampakkan betapa butuhnya beliau kepada (calon) gurunya tersebut. Beliau belajar dari Khidhr dan mempunyai keinginan besar untuk mendapatkan ilmu yang ada pada gurunya.
Hal ini berbeda dengan orang-orang yang sombong dan kasar, yang merasa tidak butuh kepada ilmu seorang guru atau pendidik. Dan sesungguhnya tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang murid atau pencari ilmu, selain menunjukkan sangat butuhnya kepada ilmu yang ada pada gurunya dan berterima kasih atas bimbingan serta didikannya.
11. Dalam kisah ini, digambarkan sikap tawadhu’ (rendah hati). Seorang yang kedudukannya sangat mulia mau belajar menimba ilmu dari seorang yang kedudukannya berada di bawahnya. Tidak kita sangsikan lagi bahwa jauh lebih mulia dari Khidhr. Jadi, dari kisah ini (diambilNabi Musa pelajaran) bolehnya seorang yang berkedudukan tinggi menimba ilmu yang tidak dikuasainya kepada orang yang mahir dalam ilmu tersebut, meskipun orang yang mahir itu berada di bawahnya dalam ilmu.
Nabi Musa p adalah salah seorang Rasul Ulul ‘Azmi yang telah Allah berikan ujian dan ilmu yang tidak diberikan-Nya kepada yang lain. Namun dalam ilmu yang khusus ini, hanya Khidhr yang memilikinya. Oleh sebab itulah betapa besarnya antusiasme beliau untuk mempelajarinya dari Khidhr.
Dengan demikian, sangat jelas wajibnya kita sandarkan bahwa ilmu ini ataupun berbagai karunia dan keutamaan lainnya, semua adalah karunia dan rahmat Allah. Bahkan wajib mengakui dan bersyukur kepada Allah atas semua kenikmatan itu, sebagaimana diisyaratkan dalam perkataan Nabi Musa p kepada Khidhr dalam ayat tersebut: أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan