Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Kamis, 18 Maret 2010

MEMAHAMI NEGERI MUSLIM & NEGERI KAFIR

Menggunakan aturan selain hukum Allah belum tentu menyebabkan seseorang terjatuh kepada kekafiran besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Bisa saja pelakunya hanya kufur kecil dan tidak keluar dari Islam. Harus ada perincian dan penelitian terhadap orang yang menggunakan selain hukum Allah. Tidak serta merta kita bisa mengkafirkannya. Perincian tersebut berkaitan dengan pelaku pengguna hukum selain hukum Allah.

Apakah negara yang menggunakan hukum sekuler serta merta dapat disebut sebagai negara kafir?

Vonis kafir terhadap suatu negeri mempunyai akibat yang berlanjut. Hal ini sebagaimana vonis kafir terhadap seseorang, suatu kelompok, ataupun penguasa. Vonis kafir terhadap manusia berkonsekwensi penghalalan darah dan harta, pembatalan pernikahan, terhalangnya saling mewarisi, dan banyak hukum lainnya berkaitan dengan hukum murtad. Vonis kafir terhadap penguasa berpotensi berlanjut kepada pembangkangan terhadap penguasa tersebut, angkat senjata dan pemberontakan.

Vonis kafir terhadap suatu negara akan mempunyai konsekwensi bahwa negara tersebut sewaktu-waktu boleh diserang oleh kaum muslimin jika sudah punya kemampuan. Jika vonis tersebut salah, bisa-bisa yang terjadi adalah muslim membantai muslim. Kita berlindung dari hal tersebut.

ISLAMNYA SUATU NEGERI

Para ulama memang membagi daerah menjadi dua macam: Darul Islam (negeri Islam) dan Darul Kufur (negeri kafir). Terdapat perselisihan pendapat tentang patokan dalam menghukumi suatu negeri sebagai negeri Islam atau negeri kafir. Mayoritas ulama berpendapat bahwa indikasi yang dijadikan patokan dalam menghukumi suatu negeri sebagai negeri Islam atau kafir adalah nampaknya hukum-hukum Islam. Namun mereka juga berselisih tentang maksud nampaknya hukum-hukum Islam ini. Apakah nampaknya hukum-hukum Islam yang dimaksud itu adalah sikap dan amalan pemerintahnya ataukah amalan penduduk negeri itu dari syi'ar-syi'ar Islam yang tampak seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at dan shalat 'Ied?

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa pendapat kedualah yang benar. Negeri Islam adalah negeri yang tampak syi'ar Islam dari penduduk negri itu, seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at dan shalat 'Ied.

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu menceritakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar adzan, maka beliau menahan diri, dan jika tidak mendengar adzan maka beliau menyerang." (HR. Bukhari - Muslim)

Adanya suara adzan menjadikan pasukan muslim menahan serangan. Hal ini menunjukkan Islamnya daerah yang akan diserang itu sehingga ketika sudah nampak Islamnya melalui adzan, maka daerah itu tidak jadi diserang.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa adzan menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri daerah tersebut karena adzan tersebut merupakan dalil atas keislaman mereka." (Syarh Shahih Muslim, IV/84).

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Adzan adalah tanda yang membedakan Darul Islam dan Darul Kufur." (Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, VI/225)

Isham Al-Muzani rahimahullah berkata, "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau bersabda, 'Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorang pun!" (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani men-dha'ifkan hadits ini dalam Dha'if Sunan Abu Daud).

Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengomentari hadits ini, "Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal: adanya masjid atau mendengar adzan." (Nailul Authar, VII/287).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan pendapat ini, "Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasik bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi dia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya, setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertakwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah pada saat itu, setiap jengkal tanah yang penduduknya orang-orang fasik, maka dia adalah negeri kefasikan pada saat itu, dan jika penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka." (Majmu' Fatawa, XVIII, 282).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "Yang dimaksud negeri syirik adalah negeri yang menampakkan syi'ar kekafiran dan tidak bisa ditegakkan syi'ar Islam di dalamnya secara menyeluruh seperti adzan, shalat jama'ah, shalat hari raya, dan shalat Jum'at. Saya katakan menyeluruh karena ada sebagian tempat yang menegakkan syi'ar Islam tapi hanya terbatas pada tempat tertentu, seperti yang dilakukan oleh kaum minoritas muslim yang hidup di negeri kafir. Ini tidak bisa dikategorikan negeri Islam. Yang bisa dikatakan negeri Islam hanya negeri yang mampu menegakkan dan menghidupkan syi'ar Islam secara menyeluruh di setiap tempat negeri tersebut. (Syarh Tsalatsatil Ushul, 129-130).

Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa jika di suatu negeri, syi'ar Islam seperti shalat jama'ah, adzan, shalat 'Ied, shalat Jum'at, dapat ditegakkan dan nampak di seluruh negeri maka negeri tersebut adalah negeri Islam, meskipun penguasanya tidak menerapkan syari'at Islam.

DARI NEGERI ISLAM KE NEGERI KAFIR

Melihat penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah di atas, bisa jadi suatu negeri berubah statusnya, dari negeri Islam menjadi negeri kafir. Pendapat yang terkuat dari para ulama adalah negeri Islam tidak berubah menjadi negeri kafir dengan sekedar dominannya hukum-hukum kekafiran di negeri itu, atau sekedar berkuasanya orang-orang kafir pada negeri itu, selama para penduduk negeri itu masih mampu mempertahankan keislaman mereka, bahkan selama mereka masih mampu menegakkan syi'ar-syi'ar Islam, khususnya shalat.

Ad-Dasuqy berkata, "Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi darul harby (negeri kafir yang boleh diperangi) sekedar dengan penguasaan orang-orang kafir atasnya, tetapi hingga terputus penegakkan syi'ar-syi'ar Islam darinya, adapun selama tetap ditegakkan syi'ar-syi'ar Islam atau sebagian besar darinya, maka tidaklah dia berubah menjadi darul harby." (Hasyiyah Dasuqi, II/188)

Contoh berubahnya negeri Islam menjadi negeri kafir adalah negeri Andalusia di Spanyol. Ketika orang kafir menguasai kaum muslimin, sehingga kaum muslimin dibantai dan diusir hingga syi'ar-syi'ar Islam yang dulunya ada lalu dihukumi tidak ada, maka berubahlah negeri yang sempat melahirkan ulama seperti Imam Al-Quthubi rahimahullah ini menjadi darul harbi.

TUDUHAN TANPA DASAR

Dengan penjelasan ulama di atas, kita bisa mengkritisi cara pandang yang keliru bahwa negeri yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah serta merta divonis sebagai negeri kafir. Cara pandang inilah yang menghasilkan tindakan terorisme.

Contoh cara pandang yang keliru ini adalah perkataan Usmah bin Ladin, "Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyah itu. Adapun Pakistan, dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu negara Islam." (Harian Ar-Ra'yul 'Am Al-Kuwaity, edisi 11 Nopember 2001 M).

Bagaimana mungkin Arab Saudi yang jelas-jelas menampakkan syi'ar Islam, bahkan memakmurkan dua masjid suci, mengurus hajat akbar umat setiap tahun, dihukumi bukan negara Islam?

Tak heran jika kemudian Usmah bin Ladin mendukung aksi-aksi teror terhadap negara Saudi. Toh, bagi dia, Arab Saudi bukan negara Islam, jadi boleh saja menimbulkan kekacauan di negara itu. Bin Ladin berkata, "Aku memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para pemuda yang mulia, yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah melakukan peledakan di kota Riyadh, atau peledakan di kota al-Khobar, ataupun peledakan-peledakan di Afrika Timur dan yang semisalnya." (Wawancara dengan Al-Jazeera, akhir 1998).

Ini pula yang terjadi pada Imam Samudra dan kawan-kawannya yang sedemikian mudahnya mengkafirkan negara Indonesia. Mudah mengkafirkan pemerintah, dan keliru menilai kafir suatu negara, melahirkan tindakan terorisme. Jika orang-orang yang mengaku memperjuangkan Islam itu berjuang dengan pemahaman yang benar, tentu hasilnya bukan kekacauan. Maka menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu ber-Islam dengan pemahaman yang benar sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan diamalkan oleh para shahabat radhiyallahu 'anhum.

Abu Muhammad Herman

(Dikutip dari Majalah Nikah, Vol. 5, No. 1)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah