Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar mengatakan,
الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]
Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6]
Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.
Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.
Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا
“Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma'aashiika, wa min thoo'atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi 'alainaa mushiibaatid dunyaa" (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.
‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.
Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.
Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.
Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan