Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Senin, 17 Oktober 2011

Fat-hul Baari bi Syarhi Shahiih al-Bukhari 2

Edisi Ke-2
فتح الْبَارِي شرح صَحِيح البُخَارِيّ
بَابُ بَدْءِ الوَحْيِ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ الْحَافِظُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْمُغِيرَةِ الْبُخَارِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى آمِينَ
كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الوَحْيِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟
وَقَوْلُ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ: {إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ} [النساء: 163]

Bab Awal Mula Turunnya Wahyu
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Asy-Syaikh al-Imam al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari -semoga Allah ta'ala merahmati beliau, aamiin- berkata:
Bagaimana awal mula turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?
Dan firman Allah subhanahu wa ta'ala: "Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-nabi setelahnya..." (QS. an-Nisaa':163)


قَالَ الْبُخَارِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الْوَحْيِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا فِي رِوَايَةِ أَبِي ذَرٍّ وَالْأَصِيلِيِّ بِغَيْرِ بَابٍ وَثَبَتَ فِي رِوَايَةِ غَيْرِهِمَا

Syarah
Imam al-Bukhari -semoga Allah merahmati dan meridhai beliau- berkata: "Bismillaahirrahmaanirrahiim, Bagaimana awal mula turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ". Seperti itu naskah yang tertera dalam riwayat Abu Dzar dan al-Ashili, yakni tanpa mencantumkan kata بَاب  (baab). Namun kata itu dicantumkan oleh para perawi kitab Shahiihul Bukhari lainnya.

فَحَكَى عِيَاضٌ وَمَنْ تَبِعَهُ فِيهِ التَّنْوِينَ وَتَرْكَهُ وَقَالَ الْكِرْمَانِيُّ يَجُوزُ فِيهِ الْإِسْكَانُ عَلَى سَبِيلِ التَّعْدَادِ لِلْأَبْوَابِ فَلَا يَكُونُ لَهُ إِعْرَابٌ

Menurut al-Qadhi 'Iyadh dan para ulama yang sependapat dengannya, kata بَاب  (baab) boleh dibaca dengan dua cara: بَابٌ (baabun; dengan tanwin) atau بَابُ (baabu; tanpa tanwin). Al-Karmani berkata: "Boleh juga dibaca sukun بَابْ (baab) sebagai isyarat bahwa kata itu disebutkan berulang-ulang kali setelahnya. Dalam hal ini kata tersebut tidak memiliki kedudukan dalam i'rab.

وَقَدِ اعْتُرِضَ عَلَى الْمُصَنِّفِ لِكَوْنِهِ لَمْ يَفْتَتِحِ الْكِتَابَ بِخُطْبَةٍ تُنْبِئُ عَنْ مَقْصُودِهِ مُفْتَتَحَةٍ بِالْحَمْدِ وَالشَّهَادَةِ امْتِثَالًا لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ وَقَوْلِهِ كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا شَهَادَةٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ أَخْرَجَهُمَا أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Sebagian ulama mengkritik kitab Shahiihul Bukhari ini karena:
Pertama: Beliau tidak memulainya dengan muqaddimah yang menjelaskan maksud penulisan kitab ini.
Kedua: Beliau tidak menuliskan kalimat hamdalah serta syahadat dalam memulai kitab ini.
Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ
"Setiap perkara yang tidak dimulai dengan ucapan hamdalah maka ia terputus (dari keberkahan; penj)"
Dan beliau juga bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا شَهَادَةٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
"Setiap khubah yang tidak disertai dengan ucapan syahadat maka ia bagaikan tangan yang buntung"
Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya, dari hadits Abu Hurairah.

وَالْجَوَابُ عَنِ الْأَوَّلِ أَنَّ الْخُطْبَةَ لَا يَتَحَتَّمُ فِيهَا سِيَاقٌ وَاحِدٌ يَمْتَنِعُ الْعُدُولُ عَنْهُ بَلِ الْغَرَضُ مِنْهَا الِافْتِتَاحُ بِمَا يَدُلُّ عَلَى الْمَقْصُودِ وَقَدْ صَدَّرَ الْكِتَابَ بِتَرْجَمَةِ بَدْءِ الْوَحْيِ وَبِالْحَدِيثِ الدَّالِّ عَلَى مَقْصُودِهِ الْمُشْتَمِلِ عَلَى أَنَّ الْعَمَلَ دَائِرٌ مَعَ النِّيَّةِ فَكَأَنَّهُ يَقُولُ قَصَدْتُ جَمْعَ وَحْيِ السُّنَّةِ الْمُتَلَقَّى عَنْ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ سَيَظْهَرُ حُسْنُ عَمَلِي فِيهِ مِنْ قَصْدِي وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَاكْتَفَى بِالتَّلْوِيحِ عَنِ التَّصْرِيحِ وَقَدْ سَلَكَ هَذِهِ الطَّرِيقَةَ فِي مُعْظَمِ تَرَاجِمِ هَذَا الْكِتَابِ عَلَى مَا سَيَظْهَرُ بِالِاسْتِقْرَاءِ

Jawaban pertanyaan pertama, bahwa muqaddimah suatu suatu khutbah tidak harus dilakukan dengan satu cara sehingga seseorang tidak boleh melakukannya dengan cara yang lain. Karena, sebenarnya tujuan sebuah muqaddimah adalah untuk menunjukkan maksud yang ingin disampaikan. Kitab ini sendiri dimulai dengan judul bagaimana turunnya wahyu pertama dan hadits -suatu amal bergantung pada niatnya- yang menunjukkan maksud Imam al-Bukhari tersebut. Seolah-olah beliau berkata: "Maksud saya adalah mengumpulkan wahyu berupa sunnah-sunnah Nabi yang didapatkan dari sebaik-baik manusia dalam versi yang akan menampakkan kepada pembaca semua keindahan karya monumental ini. Dan sesungguhnya setiap orang akan menerima balasan sesuai dengan kadar niatnya."
Disini beliau hanya mengisyaratkan saja tanpa menyebutkan hal tersebut secara nyata. Cara penulisan seperti ini sering beliau terapkan dalam sebagian besar bab, dan hal itu akan tampak melalui penelaahan yang mendalam.

وَالْجَوَابُ عَنِ الثَّانِي أَنَّ الْحَدِيثَيْنِ لَيْسَا عَلَى شَرْطِهِ بَلْ فِي كُلٍّ مِنْهُمَا مَقَالٌ سَلَّمْنَا صَلَاحِيَّتَهُمَا لِلْحُجَّةِ لَكِنْ لَيْسَ فِيهِمَا أَنَّ ذَلِكَ يَتَعَيَّنُ بِالنُّطْقِ وَالْكِتَابَةِ مَعًا فَلَعَلَّهُ حَمِدَ وَتَشَهَّدَ نُطْقًا عِنْدَ وَضْعِ الْكِتَابِ وَلَمْ يَكْتُبْ ذَلِكَ اقْتِصَارًا عَلَى الْبَسْمَلَةِ لِأَنَّ الْقَدْرَ الَّذِي يَجْمَعُ الْأُمُورَ الثَّلَاثَةَ ذِكْرُ اللَّهِ وَقَدْ حَصَلَ بِهَا وَيُؤَيِّدُهُ أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ نَزَلَ مِنَ الْقُرْآنِ أَقرَأ باسم رَبك فَطَرِيقُ التَّأَسِّي بِهِ الِافْتِتَاحُ بِالْبَسْمَلَةِ وَالِاقْتِصَارُ عَلَيْهَا لَا سِيَّمَا وَحِكَايَةُ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَةِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْبَابُ الْأَوَّلُ بَلْ هُوَ الْمَقْصُودُ بِالذَّاتِ مِنْ أَحَادِيثِهِ وَيُؤَيِّدُهُ أَيْضًا وُقُوعُ كُتُبِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُلُوكِ وَكُتُبِهِ فِي الْقَضَايَا مُفْتَتَحَةً بِالتَّسْمِيَةِ دُونَ حَمْدَلَةٍ وَغَيْرِهَا كَمَا سَيَأْتِي فِي حَدِيثِ أَبِي سُفْيَانَ فِي قِصَّةِ هِرَقْلَ فِي هَذَا الْبَابِ وَكَمَا سَيَأْتِي فِي حَدِيثِ الْبَرَاءِ فِي قِصَّةِ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو فِي صُلْحِ الْحُدَيْبِيَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحَادِيثِ وَهَذَا يُشْعِرُ بِأَنَّ لَفْظَ الْحَمْدِ وَالشَّهَادَةِ إِنَّمَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي الْخُطَبِ دُونَ الرَّسَائِلِ وَالْوَثَائِقِ فَكَأَنَّ الْمُصَنِّفَ لَمَّا لَمْ يَفْتَتِحْ كِتَابَهُ بِخُطْبَةٍ أَجْرَاهُ مَجْرَى الرَّسَائِلِ إِلَى أَهْلِ الْعِلْمِ لِيَنْتَفِعُوا بِمَا فِيهِ تَعَلُّمًا وَتَعْلِيمًا

Jawaban pertanyaan kedua, bahwa kedua hadits di atas tidak memenuhi kriteria al-Bukhari, bahkan keduanya masih dikritik. Andaipun kita menganggapnya dapat dijadikan dalil, keduanya tidak menunjukkan bahwa hamdalah maupun syahadat harus diucapkan ketika membuka pembicaraan secara lisan maupun tuilisan secara bersamaan.
Mungkin saja beliau mengucapkan hamdalah dan syahadat ketika memulai penulisan, namun beliau tidak menuliskannya. Beliau hanya menulis basmalah karena inti dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah dzikrullah (penyebutan nama Allah), dan hal itu terpenuhi. Analisa ini dikuatkan bahwa ayat pertama yang turun adalah firman Allah ta'ala:
أَقرَأ باسم رَبك
"Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu" (QS. al-'Alaq: 1).
Berdasarkan ayat ini, permulaan sesuatu itu dapat dimulai dengan membaca basmalah saja. Terlebih lagi, kandungan ayat ini termasuk dalam pembahasan bab pertama ini, bahkan itulah yang dimaksud dari hadits-hadits yang tercantum di dalamnya. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya surat-surat yang dikirimkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada para raja dan surat-surat yang beliau tulis dalam perkara peradilan. Semuanya dimulai dengan basmalah tanpa hamdalah ataupun yang lainnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sufyan radhiyallahu 'anhu mengenai kisah pertemuannya dengan raja Heraklius pada bab ini, juga hadits al-Bara' radhiyallahu 'anhu tenatng kisah Suhail bin Amr ketika penanda-tanganan perdamaian Hudaibiyah, dan hadits-hadits lainnya. Hal ini mengesankan bahwa ucapan hamdalah dan syahadat itu hanya dibutuhkan dalam khutbah, bukan dalam konteks penulisan surat atau dokumen.
Dalam hal ini Imam al-Bukhari memandang kitab ini sebagai surat yang beliau layangkan kepada para alim ulama agar mereka dapat mengambil manfaat darinya baik dalam konteks belajar maupun mengajar.  

______________________
Diterjemahkan secara bebas oleh Abu Miqdad Abdurrozzaq Al-atsariy.
Murojaah :Abu Fajri Khusen
Bersambung insya Allah.


Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah