قَوْلُهُ بَدْءُ الْوَحْيِ قَالَ عِيَاضٌ رُوِيَ بِالْهَمْزِ مَعَ سُكُونِ الدَّالِ مِنَ الإِبْتِدَاءِ وَبِغَيْرِ هَمْزٍ مَعَ ضَمِّ الدَّالِ وَتَشْدِيدِ الْوَاوِ مِنَ الظُّهُورِ
قُلْتُ وَلَمْ أَرَهُ مَضْبُوطًا فِي شَيْءٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ الَّتِي اتَّصَلَتْ لَنَا إِلاَّ أَنَّهُ وَقَعَ فِي بَعْضِهَا كَيْفَ كَانَ ابْتِدَاءُ الْوَحْيِ فَهَذَا يُرَجِّحُ الأَوَّلَ وَهُوَ الَّذِي سَمِعْنَاهُ مِنْ أَفْوَاهِ الْمَشَايِخِ وَقَدِ اسْتَعْمَلَ الْمُصَنِّفُ هَذِهِ الْعِبَارَةَ كَثِيرًا كَبَدْءِ الْحَيْضِ وَبَدْءِ الأَذَانِ وَبَدْءِ الْخَلْقِ
وَالْوَحْيُ لُغَةً الإِعْلاَمُ فِي خَفَاءٍ وَالْوَحْيُ أَيْضًا الْكِتَابَةُ وَالْمَكْتُوبُ وَالْبَعْثُ وَالإِلْهَامُ وَالأَمْرُ وَالإِيمَاءُ وَالإِشَارَةُ وَالتَّصْوِيتُ شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ وَقِيلَ أَصْلُهُ التَّفْهِيمُ وَكُلُّ مَا دَلَّلْتَ بِهِ مِنْ كَلاَمٍ أَوْ كِتَابَةٍ أَوْ رِسَالَةٍ أَوْ إِشَارَةٍ فَهُوَ وَحْيٌ
Perkataan Imam al-Bukhari: بَدْءُ الْوَحْيِ (bad-ul wahyi) "Awal mula turunnya wahyu". 'Iyadh berkata: "Bahwa diriwayatkan dengan hamzah dan sukun pada huruf daal بَدْءُ (bad-u) asal kata dari الإِبْتِدَاء (al-ibtidaa-u artinya permulaan). Dan kata ini juga bisa dibaca tanpa hamzah, dhommah pada huruf daal dan huruf waawu ber-tasydid بُدُوُّ (buduwwu) yang artinya nampak atau nyata.
Aku (Ibnu Hajar) berkata: Belum pernah melihat keterangan seperti itu pada berbagai riwayat yang sampai kepada kami. Hanya saja pada sebagian naskah menyebutnya dengan lafazh كَيْفَ كَانَ ابْتِدَاءُ الْوَحْيِ kayfa kaana ibtidaa-ul wahyi . Lafazh ini menguatkan bacaan yang pertama dan itulah yang kami dengar langsung dari para ulama. Penulis (Imam al-Bukhari) kerap kali menggunakan lafazh tersebut dalam buku atau kitab beliau ini. Seperti: Baab Bad-ul Haidh, Bad-ul Adzan, Bad-ul Khalqi, dan lain-lain.
Makna wahyu menurut bahasa adalah pemeberitahuan secara tersembunyi atau rahasia. Wahyu juga berarti tulisan, sesuatu yang tertulis, perutusan, ilham, perintah, isyarat, sinyal dan suara sayup-sayup.Ada juga yang berpendapat bahwa arti asalnya yaitu memahamkan. Segala sesuatu yang mengungkap rahasia tersembunyi dalam sebuah perkataan, tulisan, risalah atau isyarat itulah disebut wahyu.
وَشَرْعًا الإِعْلاَمُ بِالشَّرْعِ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَحْيُ وَيُرَادُ بِهِ اسْمُ الْمَفْعُولِ مِنْهُ أَيِ الْمُوحَى وَهُوَ كَلاَمُ اللَّهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدِ اعْتَرَضَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ التَّيْمِيُّ عَلَى هَذِهِ التَّرْجَمَةِ فَقَالَ لَوْ قَالَ كَيْفَ كَانَ الْوَحْيُ لَكَانَ أَحْسَنَ لأَنَّهُ تَعَرَّضَ فِيهِ لِبَيَانِ كَيْفِيَّةِ الْوَحْيِ لاَ لِبَيَانِ كَيْفِيَّةِ بَدْءِ الْوَحْيِ فَقَطْ
وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ الْمُرَادَ مِنْ بَدْءِ الْوَحْيِ حَالُهُ مَعَ كُلِّ مَا يَتَعَلَّقُ بِشَأْنِهِ أَيَّ تَعَلُّقٍ كَانَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Dan pengertiannya menurut istilah syariat adalah pemberitaan perkara-perkara syariat. Terkadang maksud kata wahyu ini ialah objeknya. Yakni yang diwahyukan yaitu Kalamullah (al-Qur-an) yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Muhammad bin Ismail at-Taimi mengkritik judul bab ini bahwa Seandainya Imam al-Bukhari menyebutnya Bab: كَيْفَ كَانَ الْوَحْيُ Kayfa kaanal wahyu (Bagaimana perihal wahyu) tentu itu lebih baik. Karena dalam bab ini beliau menjelaskan seluk beluk dan kaifiyat turunnya wahyu, bukan hanya membicarakan tentang awal turunnya wahyu saja.
Kritik tersebut dapat dijawab bahwa, maksud awal mula turunnya wahyu adalah keadaan wahyu itu sendiri dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, wallaahu a'lam.
قَوْلُهُ وَقَوْلُ اللَّهِ هُوَ بِالرَّفْعِ عَلَى حَذْفِ الْبَابِ عَطْفًا عَلَى الْجُمْلَةِ لأَنَّهَا فِي مَحَلِّ رَفْعٍ وَكَذَا عَلَى تَنْوِينِ بَابٍ وَبِالْجَرِّ عَطْفًا عَلَى كَيْفَ وَإِثْبَاتِ بَابٍ بِغَيْرِ تَنْوِينٍ وَالتَّقْدِيرُ بَابُ مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ كَذَا أَوْ الإِحْتِجَاجِ بِقَوْلِ اللَّهِ
كَذَا وَلاَيَصَحُّ تَقْدِيرُ كَيْفِيَّةِ قَوْلِ اللَّهِ لأَنَّ كَلاَمَ اللَّهِ لايُكَيِّفُ قَالَهُ عِيَاضٌ
وَيَجُوزُ رَفْعُ وَقَوْلُ اللَّهِ عَلَى الْقطع وَغَيره
Perkataan: وَقَوْلُ اللَّهِ Qowlullaahi (Dan firman Allah). Lafazh قَوْلُ Qowlu bisa dibaca marfu' dengan asumsi bahwa lafazh بَابُ Baab sebelumnya dianggap tidak ada dan ia dianggap ma'thuf kepada kalimat sebelumnya. Atau dibaca marfu' asalkan lafazh بَاب Baab dibaca tanwin (menjadi Baabun). Kalimat ini juga bisa dibaca majrur, yaitu وَقَوْلِ اللَّهِ Qowlillaahi sebagai 'athaf dari kata كَيْفَ Kayfa dan dengan asumsi bahwa kata بَاب Baab dibaca tanwin . Sehingga asumsi kalimatnya adalah بَابُ مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ Baabu ma'naa qowlillaahi (Bab Makna Firman Allah). Atau بَابُ الإِحْتِجَاجِ بِقَوْلِ اللَّهِ Baabul ihtijaaji biqowlillahi (Bab Berhujjah dengan Firman Allah).
Namun yang tidak benar adalah jika dikatakan بَابُ كَيْفِيَّةِ قَوْلِ اللَّهِ Baab kayfiyyati Qowlillaahi (Bab Kaifiyat Firman Allah), karena firman Allah tidak bisa di-kaifiyat-kan. Itu adalah perkataan al-Qadhi 'Iyadh. Dan kalimat tersebut juga boleh dibaca marfu' dengan asumsi sebagai kalimat baru.
قَوْله إِنَّا أَوْحَينَا إِلَيْك الآيَةَ قِيلَ قَدَّمَ ذِكْرَ نُوحٍ فِيهَا لأَنَّهُ أَوَّلُ نَبِيٍّ أُرْسِلَ أَوْ أَوَّلُ نَبِيٍّ عُوقِبَ قَوْمُهُ فَلاَ يَرِدُ كَوْنُ آدَمَ أَوَّلَ الأَنْبِيَاءِ مُطْلَقًا كَمَا سَيَأْتِي بَسْطُ الْقَوْلِ فِي ذَلِكَ فِي الْكَلاَمِ عَلَى حَدِيثِ الشَّفَاعَةِ
وَمُنَاسَبَةُ الآيَةِ لِلتَّرْجَمَةِ وَاضِحٌ مِنْ جِهَةِ أَنَّ صِفَةَ الْوَحْيِ إِلَى نَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوَافِقُ صِفَةَ الْوَحْيِ إِلَى مَنْ تَقَدَّمَهُ مِنَ النَّبِيِّينَ وَمِنْ جِهَةِ أَنَّ أَوَّلَ أَحْوَالِ النَّبِيِّينَ فِي الْوَحْيِ بِالرُّؤْيَا كَمَا رَوَاهُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الدَّلاَئِلِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ قَيْسٍ صَاحب بن مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُؤْتَى بِهِ الأَنْبِيَاءُ فِي الْمَنَامِ حَتَّى تَهْدَأَ قُلُوبُهُمْ ثُمَّ يَنْزِلُ الْوَحْيُ بَعْدُ فِي الْيَقَظَةِ
Perkataan: إِنَّا أَوْحَينَا إِلَيْك....الآيَةَ Inna awhaynaa ilayka... al-ayat (Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu... ayat). Penyebutan Nabi Nuh pada ayat tersebut didahulukan karena beliau adalah Nabi pertama yang diutus atau Nabi pertama yang kaumnya mendapat adzab. Hal ini tidaklah berarti mengingkari Nabi Adam sebagai Nabi pertama. Pada pembahasan tentang syafa'at nanti, akan kami bahas.
Kaitan antara ayat dengan bab sangat jelas, yakni proses wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sama seperti proses wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi terdahulu. Demikian juga kondisi para Nabi ketika menerima wahyu pertama adalah ketika tidur, yaitu berupa mimpi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab ad-Dalaa-il dengan sanad hasan dari 'Alqamah bin Qais murid Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata,إِنَّ أَوَّلَ مَا يُؤْتَى بِهِ الأَنْبِيَاءُ فِي الْمَنَامِ حَتَّى تَهْدَأَ قُلُوبُهُمْ ثُمَّ يَنْزِلُ الْوَحْيُ بَعْدُ فِي الْيَقَظَةِ
"Mula-mula wahyu diturunkan kepada para Nabi adalah dalam kondisi tidur (dalam mimpi yang baik) sehingga menjadikan hati mereka tentram. Kemudian barulah turun wahyu sementara mereka dalam keadaan terjaga."
______________________
Diterjemahkan secara bebas oleh Abu Miqdad Abdurrozzaq Al-atsariy.
Bersambung insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan