Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Rabu, 17 Februari 2010

Kisah Khidhr Bersama Nabi Musa (1)

Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Disebutkan bahwa kisah ini bermula ketika Nabi Musa p mengajar Bani Israil berbagai ilmu. Mereka merasa kagum dengan keluasan ilmunya. Di saat itu ada yang bertanya kepadanya: “Wahai Nabi Allah, adakah di dunia ini seseorang yang lebih berilmu daripada engkau?”
Nabi Musa p mengatakan, “Tidak.” Jawaban ini didasari pengetahuan yang ada pada beliau, sekaligus sebagai dorongan mereka agar menimba ilmu yang ada pada beliau. Namun Allah k segera mengabarkan kepada beliau bahwa ada seorang hamba-Nya yang ada di daerah pertemuan dua laut, mempunyai ilmu yang tidak ada pada Nabi Musa p dan hal-hal yang luar biasa.
Akhirnya muncullah keinginan beliau untuk bertemu dan menambah ilmu yang ada padanya dari hamba Allah tersebut. Dan beliau memohon agar Allah k mengizinkannya. Kemudian Allah k menerangkan kepada beliau tempat di mana Khidhr1 berada, dan memerintahkan agar beliau membawa bekal seekor ikan. Lalu dikatakan kepadanya: “Apabila engkau kehilangan ikan itu, maka dia berada di tempat tersebut.”
Beliaupun berangkat dan akhirnya bertemu. Dan kisah ini Allah sebutkan selengkapnya di dalam surat Al-Kahfi:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لاَ أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا. فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوْتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيْلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا... وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun’. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini’. Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari’. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam satu urusanpun’. Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu’. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melubanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?’ Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku’. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar’. Khidhr berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, janganlah kamu membolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku’. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu’. Khidhr berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti anak lain bagi mereka, yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan tidaklah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya’.” (Al-Kahfi: 60-82)

Beberapa Pelajaran Penting
1. Kisah ini sarat dengan berbagai keutamaan ilmu dan disyariatkannya rihlah (berkelana) mencari ilmu. Dan diterangkan pula dalam kisah ini bahwa ilmu adalah perkara yang sangat penting. Nabi Musa p melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan ilmu.
2. Diterangkan dalam kisah ini bahwa tahap awal dalam menuntut ilmu hendaknya dimulai dari yang paling utama kemudian berikutnya. Karena sesungguhnya seseorang yang menambah ilmu dengan usahanya sendiri lebih penting daripada dia meninggalkannya karena semata-mata sibuk mengajar. Hendaklah dia kerjakan keduanya sekaligus, mengajar sambil tetap belajar.
3. Bolehnya mengangkat seorang pelayan dalam perjalanan atau ketika bermukim (tidak bepergian) untuk memudahkan urusan dan ketenangan, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa p.
4. Seorang musafir yang menuntut ilmu, berjihad, ataupun untuk melaksanakan suatu ketaatan, apabila memang terdapat kemaslahatan yang nyata untuk disampaikan kepada yang lain, ke mana dan apa yang dicarinya, maka lebih baik menceritakannya daripada merahasiakannya.
Ini mengandung berbagai manfaat. Di samping untuk mempersiapkan diri, juga sebagai dorongan untuk mengerjakan amalan yang utama ini. Sebagaimana yang beliau katakan di dalam ayat tersebut:

لاَ أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

“Aku tidak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60)
Dan tatkala Rasulullah p dalam peristiwa perang Tabuk, beliau mengabarkan banyak tujuannya kepada manusia. Padahal biasanya apabila ingin memerangi suatu kaum, beliau rahasiakan maksud dan tujuan beliau untuk suatu kemaslahatan.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah