Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Sabtu, 20 Maret 2010

8 kaidah memahami sunnah 2

Kaidah Kelima : Mengetahui Asbabul Wurud Hadits

Asbabul wurud hadits adalah sebab – sebab datangnya dan terjadinya suatu hadits. Mengetahui Asbabul wurud hadits sangat membantu dalam memahami maksud Rasulullah dalam suatu hadits.

Termasuk cara yang baik dalam memahami Sunnah Nabawiyah adalah meneliti sebab – sebab tertentu datangnya hadits itu, atau hadits itu punya alasan tertentu yang tersurat pada teks hadits atau tersirat dari makna hadits tersebut. Atau juga yang difahami dari kondisi ketika hadits itu diucapkan oleh Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam.

Adalah suatu keharusan untuk memahami hadits dengan benar mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Rasulullah. Hadits itu datang sebagai penjelas bagi kejadian – kejadian tersebut dan sebagai terapi bagi situasi dan kondisi dari kejadian waktu itu. Sehingga kita bisa memahami dengan jelas, benar dan cermat maksud dari hadits tersebut.

Itu agar kita tidak salah memahami hadits dengan perkiraan dangkal kita atau hanya karena mengikuti dzahirnya ( lahiriyahnya ) teks hadits.

Contoh :

أنتم أعلم بأمور دنياكم

“ Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” ( HR. Muslim )

Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari hukum – hukum syariat yang berkaiatan dengan masalah ekonomi, hukum perdata, politik dan yang semisalnya dengan alasan ( sebagaimana anggapan mereka yang salah ), bahwa itu adalah urusan duniawi, kami lebih mengetahui tentang urusan dunia dan Rasulullah telah menyerahkannya kepada kami.

Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak. Dalam nash – nash Alqur'an dan as-Sunnah terdapat hal – hal yang mengatur urusan muamalah seperti jual – beli, serikat dagang, gadai, sewa – menyewa, hutang – piutang dan sebagainya.

Bahkan ayat terpanjang dalam Alqur'an turun membahas tentang aturan penulisan hutang – piutang.

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya .. ( al-Baqarah : 282 )

Maka hadits :“ Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” ditafsirkan oleh sebab terjadinya hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah. Lalu para Shahabat menjalankan saran Rasulullah tersebut dengan taat, tapi kemudian mereka gagal melakukan penyerbukan dan berakibat buruk pada buah. Kemudian Rasulullah bersabda dengan hadits tersebut.

Contoh lain hadits:

من سن في الإسلام سنة حسنة

“ Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam…” (HR. Muslim )

Sebagian orang memahami hadits ini dengan salah. Lalu mereka membuat amalan - amalan bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Mereka beranggapan bahwa mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan itu dan mengklaim bahwa ini adalah sunnah hasanah ( sunah yang baik ) yang masuk dalam makna kandungan hadits tadi.

Akan tetapi kalau kita merujuk kepada sebab terjadinya hadits ini, kita dapatkan sebabnya adalah bahwa suatu hari, Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam memerintahkan para Shahabat beliau untuk bersedekah. Lalu datang seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya. Lalu dia letakkan di tengah masjid dan kemudian orang – orang ikut berinfaq, sampai muka Rasulullah berseri – seri karena senang, seakan – akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas. Lalu beliaupun mengucapkan hadits tersebut.

Maka mengartikan hadits tersebut dengan perbuatan bid’ah jelas bukan yang dimaksud hadits. Kita jelaskan seperti ini dengan yakin dan tanpa ragu. Bahkan itu suatu kesesatan yang nyata. Sebab ada dan terjadinya hadits yang disebutkan tadi adalah bukti terkuat tentang salah dan bathilnya pengambilan dalil seperti itu.

Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi rahimahullah punya kitab “al-Bayan wat Ta’riif Fi Asbaab Wuruudil Hadits as-Syariif dicetak dalam tiga jilid. Kitab ini termasuk yang paling lengkap dalam pembahasan ini.

Kaidah Keenam : Mengetahui Gharibul Hadits

Gharibul hadits artinya kata – kata yang asing yang sulit dipahami yang terdapat dalam suatu hadits.

Rasulullah adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan Dhadh.Beliau berbicara dengan para Shahabat dengan bahasa arab yang jelas dan lumrah. Karena para Shahabat adalah orang arab asli yang tidak pernah dipengaruhi orang ‘Ajam ( non arab ), maka mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami kata - kata yang mereka biasa bicarakan.

Akan tetapi dengan berlalunya waktu dan saling berbaurnya manusia,’Ajam dengan Arab, maka bahasa yang dipakai orang arab menjadi lemah, bercampur dengan bahasa ‘Ajam dan semakin jauh dari bahasa arab yang fasih.

Oleh karena itu banyak orang menemukan kesulitan dalam memahami hadits – hadits Nabi karena tidak mengetahui arti kata – kata dalam hadits – hadits tersebut.

Oleh karena sebab inilah para Ulama manyusun karangan tentang Gharibul hadits, Mereka susun kitab untuk menerangkan kata – kata yang sulit difahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya.

Jika seorang ahli ilmu, penuntut ilmu syar’i atau seorang muslim secara umum ingin memahami hadits, maka hendaklah ia merujuk kepada kitab – kitab gharibul hadits. Kitab – kitab yang terpenting adalah :

- Gharibul Hadits oleh al-Harawi
- Gharibul Hadits oleh Abu Ishaq al-Harbi
- Gharib as- Shohihain oleh al-Humaidi
- An-Nihayah Fi Gharibil Hadits oleh Ibnul Atsir rahimahumullah jamii’an

Kaidah Ketujuh : Memahami Sunnah Seperti Yang Difahami Shahabat Rasulullah

Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan Sunnah seperti para Salafus Shaleh agar selamat dari penambahan dan pengurangan.

Yang paling utama dalam menafsirkan Sunnah adalah hadits – hadits itu sendiri, kemudian setelah itu atsar dari para Shahabat, karena Shahabat menyaksikan turunnya Alqur'an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka kalau terjadi pemahaman yang salah dari salah satu dari mereka terhadap Sunnah Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah untuk meluruskan dan mengoreksi kesalahan itu.

Contoh :

Hadits menghadap Qiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil.

Sebelumnya saya telah menjelaskan satu pendapat cara menjamak ( menyatukan ) antara hadits yang tampak bertentangan tersebut. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah atsar dari Ibnu Umar radiyallahu 'anhu, dimana beliau berkata : “Sesungguhnya yang demikian itu ( yaitu buang air menghadap atau membelakangi qiblat ) terlarang jika di tempat yang terbuka. Jika antara kamu dan qiblat ada penghalang, maka tidak mengapa”.

Hendaklah anda merujuk kitab – kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar – atsar para salaf dari para Shahabat dan Tabi’in ketika meriwayatkan hadits, seperti kitab – kitab berikut :

- Mushannaf Abdirrozzaq
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah
- Sunan Sa’id ibn Manshur
- Sunan ad-Darimi
- As-Sunan al-Kubra dan as-Shugra oleh Imam Baihaqi rahimahumullah
Kaidah Kedelapan : Merujuk Kitab – Kitab Syarah Hadits

Termasuk hal yang penting dalam memahami hadits – hadits Nabi adalah merujuk kitab – kitab syarah ( penjelas ). Karena di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib hadits, nasikh – mansukh, fiqih hadits dan riwayat – riwayat yang tampaknya bertentangan. Sehingga tidak mungkin seseorang untuk tidak merujuk kepada kitab – kitab ini.

Para ulama hadits telah meninggalkan kekayaan ilmu untuk kita berupa kitab – kitab syarah yang menjelaskan hadits – hadits Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam, sedangkan para ulama itu adalah para penerjemah hadits – hadits Nabi untuk seluruh umat. Dan secara umum, ulama yang lebih dahulu dan lebih dekat kepada masa Rasulullah , maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima.

Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penulisnya adalah kitab yang penulisnya memiliki perhatian terhadap dalil – dalil dengan menerangkan jalan periwayatan hadits yang bermacam – macam, dan menerangkan shahih dan dhaifnya dalil tersebut.

Juga harus didahulukan kitab yang penulisnya paling jauh dari fanatisme madzhab, karena bisa saja makna yang benar dari satu hadits dipalingkan kepada makna yang lain tanpa alasan yang benar.

Di antara contoh kitab – kitab syarah hadits terdahulu dan menjadi pijakan, yaitu :

- Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawi
- Fathul Baari oleh Ibnu Rajab al-Hanbali
- Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Hajar al-Asqolani, dan lain – lain.

Wallahu A’lam.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah