Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Senin, 15 Maret 2010

Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah?

Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah?

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah taala mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa ??? karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam-pen). Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran -pen).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195). Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu ‘Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman kecil -pen) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil -pen).

Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman -pen) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196) Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahulah berkata: “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kedzaliman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah, maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman.” (Adhwa-ul Bayan, 2/104).

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:

1.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

2.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

3.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.

4.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan.

Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya. Tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar. (Al-Hukmu Bighairima’anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir Al-Uraini hal. 21-22).

Refleksi Terhadap Fenomena Takfir.

Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan (oleh Jamaah Takfir dari berbagai macam jenisnya) sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an.

Betapa ngerinya fitnah ini, padahal Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya: إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ “Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari shahabat Abdullah bin ‘Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824).

Buku-buku para tokoh Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyah pun ternyata sangat berperan di dalam memicu berkembangnya fitnah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir Al-’Uraini berkata: “Sesungguhnya di antara media terkuat yang mereka gunakan untuk menyebarkan pemikiran menyimpang lagi menyesatkan hamba-hamba Allah ini adalah buku-buku yang dihiasi dengan judul-judul yang menarik untuk mengesankan kepada para pembaca bahwa buku itu baik padahal isinya racun yang mematikan.” (At-Tahdzir Minat Tasarru Fittakfir, hal. 51).

Di antaranya Sayyid Quthub dalam Ma’alim Fith-Thariq, Fii Zhilalil Qur’an, Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah ataupun Al-Islam Wamusykilatul Hadharah dsb. Sebagaimana yang disaksikan oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, seperti: - Yusuf Al-Qardhawi, ia berkata: “Pada fase ini telah muncul buku-buku tulisan Sayyid Quthub yang merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran masyarakat dan…, yang demikian itu nampak jelas dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an cetakan ke-2, Ma’alim Fith Thariq yang kebanyakannya diambil dari Azh-Zhilal, dan Al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.” (Aulawiyyatul Harakah Al-Islamiyyah, hal 110. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal. 102) -

Farid Abdul Khaliq, ia berkata: “Telah kami singgung dalam pernyataan yang lalu bahwa pemikiran takfir (dewasa ini) bermula dari sebagian pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang meringkuk di LP Al-Qanathir di akhir-akhir tahun limapuluhan dan awal-awal tahun enampuluhan, yang mana mereka terpengaruh dengan pemikiran Sayyid Quthub dan karya-karya tulisnya. Mereka menimba dari karya-karya tulis tersebut bahwa masyarakat ini berada dalam kejahiliyyahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan mereka terhadap selain hukum Allah itu.” (Al-Ikhwanul Muslimun fii Mizanil Haq, hal. 115. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal.103).

Demikian pula tulisan-tulisan Abul A’la Al-Maududi dalam Al-Usus Al-Akhlaqiyyah Lil Harakah Al-Islamiyyah, Muhammad Surur Zainal Abidin dalam Majalah As-Sunnah dan Manhajul Anbiya Fid Da’wati Ilallah, Safar Al-Hawali dalam Wa’d Kasenjer, Salman Al-’Audah dalam kaset Limadza Yakhafuna minal Islam? Humum Fataat Multazimah, Minhuna…Wahunaka, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk menjauhkan diri dari buku-buku dan kaset-kaset tersebut, dan berusaha untuk menimba ilmu dari buku-buku dan kaset-kaset para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bersih dari berbagai macam syubhat dan pemikiran menyimpang. Demikian pula toko-toko buku hendaknya tidak lagi menjual buku-buku tersebut, sebagaimana yang telah diserukan oleh Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali di dalam kitabnya Al-Irhab Wa Atsaruhu ‘Alal Afrad Wal Umam, hal. 128-142. Di antara hal lain yang perlu dijadikan refleksi adalah tidak dipahaminya perbedaan antara takfir secara mutlak (umum) dengan takfir mu’ayyan (untuk orang tertentu), yang berakibat setiap ada yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran langsung divonis sebagai orang kafir dan dinyatakan telah keluar dari Islam. Para ulama rahimahumullah membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu’ayyan. Mereka seringkali menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti: “Barangsiapa mengatakan atau melakukan perbuatan demikian dan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya).”Namun ketika masuk kepada takfir mu’ayyan (untuk orang-orang tertentu) maka mereka sangat berhati-hati. Karena tidak semua yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran berhak divonis kafir.

Penutup.

Penulis : Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
sumber : http://aththaifahalmanshurah.salafy.ws/2009/01/13/bahaya-mengkafirkan-sesama-muslim

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah