(( قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الْرُّسُلِ ))
”Katakanlah: aku bukanlah bid'ah dari kalangan para rasul"[1]
Maknanya adalah: aku bukanlah yang pertama diutus, namun telah diutus sebelumku sekian banyak rasul".[2]
Secara istilah : Imam Asy Syathibi rahimahullahu Ta'ala mengatakan: "Bid'ah adalah suatu metode (tatacara) yang diada-adakan dalam agama, menyerupai syari'at yang tujuan mengamalkannya berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Fairuz Abadi dalam "Bashair Dzawit Tamyiiz" menyebutkan:"Bid'ah itu adalah segala sesuatu yang baru dalam agama sesudah penyempurnaan."
Ada pula yang mengatakan: "Segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan."
Dikatakan pula: "Bid'ah adalah mengeluarkan pendapat atau perbuatan, di mana pelaku atau yang mengatakannya tidak mengambil tuntunan atau contoh dengan pembuat syari'at, atau hal-hal yang pernah ada sebelumnya yang serupa dengan pebuatan atau pendapat itu serta tidak bersandar kepada ushul yang kokoh.[1]
Dari sini nampaklah bagi kita perbedaan antara bid'ah secara lughawi dan bid'ah secara istilahi, dimana pengertian bid'ah secara lughawi lebih umum, sebab secara istilahi dikhususkan dengan apa yang baru di dalam agama yang tidak ada penunjukannya dalam nash-nash dan kaidah syariah. Maka terkadang suatu perbuatan tersebut termasuk bid’ah dalam bahasa namun tidak termasuk bid'ah dalam syari'at. Seperti apabila ada nash yang menganjurkan suatu amalan namun belum sempat diamalkan melainkan setelah terputusnya syariat, dan meninggalnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Apakah karena belum diberikan kemudahan untuk mengumpulkannya atau karena adanya penghalang yang mencegah untuk melakukannya di zaman turunnya syariat. Maka bagi orang yang pertama melakukannya dikatakan bid'ah secara bahasa sebab merupakan perbuatan yang tidak ada contohnya terdahulu, namun bukan bid'ah dalam syari'ah karena adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya.
Di antara contoh hal ini banyak dari perbuatan para Sahabat, seperti pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar radhiallahu anhu, shalat Tarawih di zaman Umar bin Khattab radhiallahu anhu, dan yang lainnya.[2]
Semua Bid'ah Dalam Agama Adalah Sesat
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir radhiallahu anhu berkata: Bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata di saat beliau berkhutbah:
(( أَمَا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا , وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ))
"Amma Ba'du, sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan".[3]
Berkata Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma:
(( كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآَهَا النَّاسُ حَسَنَةً ))
"Setiap bid'ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh manusia "[4]
Berkat Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah Ta'ala:
"Ketahuilah rahimakumullah (semoga Allah merahmatimu) bahwa apa yang telah disebutkan berupa dalil-dalil adalah hujjah secara umum tercelanya (bid'ah) dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa riwayat tersebut datang secara mutlak dan umum, dengan banyaknya riwayat namun tidak terdapat pengecualian sama sekali, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa di antara (bid'ah) ada yang berupa petunjuk, tidak ada pula disebutkan: setiap bid'ah sesat kecuali ini dan itu dari berbagai macam makna. Ini menunjukkan bahwa seluruh dalil tersebut di atas hakikatnya yang dzahir berupa lafadz "kullu" (seluruhnya).
Kedua: Bahwa telah ditetapkan dalam prinsip-prinsip yang ilmiah bahwa setiap kaidah menyeluruh atau dalil syar'i yang bersifat menyeluruh bila berulang-ulang disebutkan di banyak tempat, dan didatangkan sebagai penguat terhadap makna-makna ushul dan furu' dan tidak pernah disertai pengkhususan di saat seringnya disebutkan, maka itu merupakan dalil atas ketetapan lafadz tersebut bersifat umum.
Ketiga: Ijma' para ulama salaf dari kalangan shahabat, tabi'in dan setelah mereka atas tercelanya bid'ah, dan menjelekkannya, berlari meninggalkan orang yang disifati sebagai ahli bid'ah, dan tidak ada sedikitpun dari mereka sikap tawaqquf (abstain) atau ragu, maka ini merupakan ijma' yang ditetapkan yang menunjukkan bahwa setiap bid'ah tidak ada yang benar, bahkan termasuk kebatilan.
Keempat: Bahwa orang yang memahami bid'ah mengharuskan bersikap demikian (yaitu meyakini bahwa setiap bid'ah itu sesat) sebab hal tersebut termasuk ke dalam perkara yang bertentangan dengan syariat, membuang syariat, dan setiap yang keadaannya seperti ini mustahil terbagi menjadi : yang baik dan yang buruk, ada yang terpuji dan ada pula yang tercela, karena tidaklah benar baik secara akal maupun secara syar'i menganggap baik apa yang menyelisihi syari'at. Demikian pula kalau dikatakan bahwa terdapat dalil yang menganggap baik sebagian bid'ah atau dikecualikan sebagiannya dari celaan, tidaklah bisa tergambarkan. Karena bid'ah itu adalah metode yang menyaingi syariat dalam keadaan dia tidak termasuk (syariat), dan bila syariat menganggap baik adalah dalil disyariatkannya hal tersebut, sebab kalau syariat mengatakan:" bahwa ajaran baru si fulan itu baik" berarti itu disyariatkan".[5]
Tidak Ada Khilaf di Kalangan Ulama Bahwa Semua Bid'ah Dalam Agama Itu Sesat
Banyak terjadi kesalahpahaman di antara kaum muslimin terhadap apa yang disebutkan oleh sebagian para ulama dengan istilah bid'ah hasanah, atau pembagian bid'ah menjadi lima bagian : Wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Atau membagi bid'ah menjadi dua: Mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela). Sehingga tergambarkan oleh mereka bahwa di dalam agama ada bid'ah yang boleh dikerjakan, bahkan dianjurkan, atau bahkan diharuskan, lalu setelah itu menjadikan berbagai macam bid'ah yang menyesatkan tersebut sebagai bagian dari agama yang dianjurkan untuk mengerjakannya, termasuk pula di antaranya bid'ah dholalah model Arifin ilham dengan dzikir jama'inya.
Telah disebutkan oleh salah seorang pendukung dzikir ini bernama Ahmad Dimyathi Badruzzaman MA bahwa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam "kullu bid'atin dholalah" adalah umum yang telah ditakhsis (dikhususkan) dengan beberapa hal:
Pertama : Kecuali dalam urusan dunia.
Kedua : Kecuali yang dilakukan oleh Khulafaur Rosyidin.
Ketiga : Kecuali bid'ah hasil ijtihad imam-imam mujtahid.[6]
semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua- memperhatikan secara seksama definisi bid'ah secara istilah, niscaya dia akan berkesimpulan bahwa sesungguhnya tidaklah perlu adanya takhsis yang di sebutkan itu, dan akan menyikapi hadits Rasulullah shallalahu alaihi wasallam tersebut secara mutlak. Namun anehnya, ketika Ahmad Dimyathi memberikan kesimpulan terhadap definisi bid'ah secara terminology (istilah) dia mengatakan:
"Ringkasnya, segala sesuatu yang terjadi dalam agama yang belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam dan tidak pula di zaman para Shahabatnya, yang tidak bersumber dari syara', baik dengan dalil yang tegas maupun dengan isyarat, dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka hal itu menurut syariat dinamakan dengan bid'ah"[7]
Dan perhatikan pula yang diucapkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah:
(( كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)) وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لاَ أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيْعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ, وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً
"Kullu bid'atin dholalah : Yang dimaksud dengan bid'ah adalah perbuatan baru yang tidak ada penunjukannya dalam syariat, adapun yang memiliki asal dalam syari'at penunjukannya maka bukan bid'ah secara istilah walaupun termasuk bid'ah secara bahasa". [8]
Kalau sekiranya Ahmad Dimyathi konsekwen dengan kesimpulan definisi tersebut, niscaya dia tidak akan memerlukan adanya pentakhsisan tersebut.
Adapun takhsis yang pertama: "kecuali dalam urusan dunia", takhsis ini tidaklah perlu, disebabkan karena dalam definisi tersebut telah dikhususkan bid'ah sesat itu dalam perkara agama.
Adapun takhsis yang kedua: "yang dilakukan khulafaur rosyidin", juga tidaklah perlu. Disebabkan karena adanya nash yang jelas yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:
((فَعَلَيْكُمْ بِسُنَتِّي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْرَّاشِدِيْن اَلْمَهْدِيّيْنَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ))
"Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah para khulafa'ur Rosyidin setelahku. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu".[9]
Maka di dalam hadits ini terdapat dalil anjuran mengikuti sunnahnya khulafa'ur Rosyidin bersama dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagai jalan keluar dari munculnya perpecahan yang akan terjadi. Berkata Ibnu Rajab dalam menjelaskan hadits ini:
"Ini merupakan pemberitaan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang apa yang terjadi pada umatnya berupa perselisihan yang banyak, baik dalam ushuluddin dan furu'nya, dalam amalan-amalan, perkataan dan keyakinan. Dan ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari Beliau tentang perpecahan umatnya menjadi 73 golongan dan semuanya dalam neraka kecuali satu golongan, yaitu siapa yang berjalan di atas jalannya dan para Shahabatnya. Oleh karena itu, dalam hadits ini perintah di saat terjadi perselisihan dan perpecahan agar berpegang teguh dengan sunnahnya, dan sunnahnya para Khulafa'ur Rosyidin setelahnya. Dan sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka mencakup komitmen dengan apa yang telah ditempuh oleh beliau shallallahu alaihi wasallam dan para Khulafa'ur Rosyidin berupa aqidah, amalan dan perkataan. Inilah sunnah yang sempurna, oleh karena itu para ulama salaf tidaklah memutlakkan nama sunnah kecuali bila mencakup hal tersebut secara menyeluruh".[10]
Lalu beliau berkata: "(Dalam hadits ini) dalil bahwa sunnah Khulafa'ur Rosyidin juga diikuti seperti diikutinya sunnah berbeda dengan selain mereka dari para khalifah".[11]
Dan yang dimaksud dengan istilah Khulafa'ur Rosyidin adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affaan, dan Ali bin Abi Thalib. Dan banyak dari kalangan para imam menyebutkan bahwa Umar bin Abdil Aziz juga termasuk ke dalam Khulafa'ur Rosyidin radhiallahu anhum. [12]
Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi hujjah yang dimaksud di dalam hadits tersebut bukan pendapat perseorangan dari mereka, namun yang termasuk hujjah adalah apa yang telah menjadi kesepakatan mereka dalam suatu urusan. Sebab di antara para Khulafa'ur Rosyidin tersebut telah terjadi perselisihan di kalangan mereka dalam berbagai masalah, dan bukanlah perkataan sebagian mereka menjadi hujjah terhadap yang lainnya.Maka fahamilah !!
Berkata Syinqithi rahimahullah Ta'ala:
اِتِّفَاقُ الْخُلََفَاءِ الأَرْبَعَةِ لَيْسَ بِإِجْمَاعٍ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ وَالْصَّحِيْحُ أَنَّهُ حُجَّةٌ وَلَيْسَ بِإِجْمَاعٍ
"Kesepakatan empat khalifah bukanlah termasuk ijma' menurut jumhur ulama, dan yang shahih bahwa itu adalah hujjah dan bukan ijma'".[13]
Dan apa yang menjadi kesepakatan para Khulafa'ur Rosyidin maka itulah yang disepakati oleh para shahabat.
Namun jangan disalahpahami bahwa sunnah Khulafa'ur Rosyidin merupakan sunnah yang berdiri sendiri yang terlepas dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebab tidak ada yang haq kecuali dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun yang dimaksud adalah bahwa para Khulafa'ur Rosyidin tersebut senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Berkata Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullahu Ta'ala:
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di saat memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya para Khulafa'ur Rosyidin tidaklah keluar dari salah satu di antara dua sisi”:
Pertama: Ada kemungkinan bahwa beliau (Rasulullah shallalahu alaihi wasallam) membolehkan bagi mereka untuk membuat sunnah yang bukan sunnah Beliau. Maka ini tidaklah diucapkan oleh seorang muslim. Dan siapa yang membolehkan hal ini maka sungguh dia telah kafir, murtad, halal darahnya dan hartanya. Sebab agama ini secara keseluruhan ada yang wajib, dan ada yang tidak wajib, ada yang haram dan ada pula yang halal. Maka barangsiapa yang membolehkan bahwa para Khulafa'ur Rosyidin memiliki sunnah yang tidak disunnahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka dia telah membolehkan bagi mereka untuk menghalalkan yang haram atau mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ataukah menjatuhkan kewajiban yang telah diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan beliau tidak menggugurkan (kewajiban tersebut) hingga beliau wafat. Setiap sisi ini barangsiapa yang membolehkan sesuatu darinya maka dia kafir musyrik berdasarkan kesepakatan umat seluruhnya tanpa diperselisihkan. Maka sisi ini adalah batil walhamdu lillah.
Kemungkian kedua: Diperintahkannya mengikuti mereka karena mereka senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan inilah pendapat kami, dan tidak ada kemungkinan lain (dari makna hadits tersebut) melainkan ini".[14]
Adapun pendapat perseorangan dari mereka maka yang demikian bukanlah hujjah, oleh karenanya para ulama pun dari kalangan para Shahabat dan setelahnya terkadang menyelisihi pendapat mereka jika mereka melihat bahwa amalan mereka bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.[15]
Bahkan ketika Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma melihat sebagian kaum muslimin lebih mengutamakan pendapat Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma daripada ketetapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau pun marah dan berkata:
(( أَرَاهُمْ سَيَهْلِكُوْنَ أَقُولُ: قَالَ الْنَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم وَيَقُوْلُوْنَ : قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ))
"Aku melihat mereka akan binasa: aku berkata "Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka mengatakan : berkata Abu Bakar berkata Umar".[16]
Masalah pembukuan mushaf Al-Qur’an, bahwa ini termasuk bid'ah yang diperbolehkan adalah tidak benar, karena beberapa sebab:
Pertama: Perkara ini terdapat dalilnya di dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah Azza wa jalla:
(( إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ))
"Dan atas Kamilah mengumpulkan Al-Qur’an (di dadamu) dan membacanya".[17]
Maka di dalam ayat ini terdapat isyarat dianjurkannya mengumpulkan Al-Qur’an apakah dengan cara menghafalnya ataupun membukukannya, berdasarkan keumuman lafadz ayat yang mulia tersebut.
Kalau ada yang berkata: lalu mengapa di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak dibukukan? Jawabannya adalah: Di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih ada pencegah dibukukannya, yaitu karena Al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur selama masa hidup beliau, dan terkadang Allah menghapus ayat yang dikehendakinya, maka tatkala meninggalnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka mereka pun baru mengumpulkannya disebabkan karena telah sempurnanya agama ini dan wahyu telah terputus.[18]
Kedua: Hal ini adalah merupakan perkara yang telah disepakati oleh seluruh para shahabat dan tidak ada satupun yang mengingkarinya, dan ijma' adalah salah satu hujjah di dalam islam berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
(( إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَجَارَ أُمَّتِي أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ ))
"Sesungguhnya Allah Ta'ala telah melindungi umatku untuk bersepakat di atas kesesatan".[19]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan