Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Kamis, 18 Maret 2010

MENGENAL BID'AH 2

Adapun tentang adzan pertama di hari Jum’at, di zaman Utsman bin Affan radhiallahu anhu, maka jawabannya dari beberapa sisi:

Pertama: Bahwa adzan pertama tersebut merupakan ijtihad dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu, dan beliau adalah salah satu di antara para shahabat radhiallahu anhum ajma'in. Dan salah seorang Shahabat apabila berijtihad lalu ada yang menyelisihinya dari Shahabat yang lain, maka pendapat sebagian Shahabat bukanlah hujjah terhadap Shahabat yang lain dan butuh melihat kepada yang rajih (kuat) di antara apa yang mereka perselisihkan tersebut.[20]

Maka permasalahan inipun termasuk yang diperselisihkan di antara mereka. Telah diselisihi oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ketika beliau di Kufah dan beliau hanya mengamalkan yang disunnahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tidak mengambil tambahan Utsman radhiallahu anhu.

Dan demikian pula Abdullah bin Umar berkata:

إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَذَّنَ بِلاَلٌ, فَإِذَا فَرَغَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُطْبَتِهِ أَقَامَ الْصَّلاَةَ, وَاْلأَذَانُ الأَوَّلُ بِدْعَةٌ ))

"Sesungguhnya hanyalah Nabi shallalahu alaihi wasallam apabila naik ke mimbar maka Bilal mengumandangkan Adzan, apabila Nabi selesai dari khutbahnya (Bilal) menyerukan iqomah, dan adzan pertama adalah bid'ah".[21]

Oleh karena itu Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata dalam kitabnya "Al-Umm":

وَأُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ الأَذَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ حِيْنَ يَدْخُلُ الإِمَامُ الْمَسْجِدَ وَيَجْلِسُ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا فَعَلَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُ فِي الأَذَانِ فَإِذَا فَرَغَ قَامَ فَخَطَبَ لاَ يَزِيْدُ عَلَيْهِ ))

"Dan aku menyukai agar adzan pada hari Jum’at di saat imam masuk ke dalam masjid dan duduk di atas mimbar. Maka apabila (imam) telah melakukannya, muadzin pun mengumandangkan adzannya. Bila selesai berdirilah imam berkhutbah, jangan dia menambahnya".[22]

Kedua: Bahwa ada dua sebab mengapa Utsman radhiallahu anhu menambah adzan pertama tersebut. Berikut ini riwayatnya:

Berkata Az-Zuhri rahimahullah Ta'ala: telah mengabarkan kepada kami As-Saib bin Yazid : Bahwa adzan yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, awalnya adalah di saat imam duduk di atas mimbar, dan apabila telah ditegakkan shalat pada hari Jum’at di pintu masjid di zaman Nabi shallallahu laihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, maka tatkala di zaman khilafah Utsman dan semakin banyak manusia,dan berjauhan rumah-rumah mereka, maka Utsman memerintahkan pada hari Jum’at adzan yang ketiga (dalam riwayat lain: pertama,dalam riwayat lain: kedua) di atas rumah di pasar yang disebut "Zaura'". Maka dikumandangkanlah di atas Zaura', sebelum keluarnya (imam) agar manusia mengetahui bahwa Jum’at telah masuk, maka ditetapkanlah amalan tersebut. Dan manusia tidak mencelanya atas hal tersebut, padahal mereka telah mencela beliau ketika menyempurnakan shalat (di waktu safar) di Mina.[23]

Dari riwayat ini nampaklah bagi kita bahwa Utsman tidaklah menambah adzan pada hari Jum’at melainkan disebabkan dua perkara:

Pertama : Semakin banyaknya manusia

Kedua : Berjauhannya rumah mereka

Dengan kedua sebab inilah menyebabkan mereka tidak dapat mendengarkan adzan dikumandangkan, sehingga beliau menganggap kemaslahatan dengan ditambahnya adzan tersebut.Sehingga sebagian para ulama menggolongkan hal ini termasuk kedalam maslahah mursalah. Maka apakah kedua illat (sebab) tersebut ada di zaman sekarang??

Berkata Al-Albani rahimahullah Ta'ala: "Kami tidak berpendapat untuk mengikuti apa yang dilakukan Utsman radhiallah anhu secara mutlak tanpa syarat, sebab telah kita jelaskan bahwa Utsman hanyalah menambah itu disebabkan karena ada illah ma'qulah (sebab yang masuk akal) yaitu banyaknya manusia dan berjauhannya tempat tinggal mereka dari masjid nabi. Maka barangsiapa yang berpaling dari sebab ini, dan berpegang kepada adzan Utsman secara mutlak, maka dia tidak mengikuti Utsman radhiallahu anhu, bahkan menyelisihinya, karena dia tidak memperhatikan dengan mata ilmu terhadap sebab yang kalau tidak ada sebab tersebut, maka tentunya Utsman radhiallahu anhu tidak melakukan penambahan atas sunnah yang ada dan sunnahnya dua khalifah setelahnya."[24]

Adapun tentang shalat tarawih secara berjama'ah di zaman Umar bin Khattab radhiallahu anhu, maka sungguh sangatlah keliru jika ini termasuk dalam kategori bid'ah di dalam istilah syar'i, sebab shalat berjama'ah tarawih termasuk sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana yang terdapat dalam shahih Bukhari dari hadits Aisyah radhiallahu anha berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat di masjid pada suatu malam lalu shalatlah bersama beliau beberapa orang, kemudian shalat di malam berikutnya maka semakin bertambah manusia (yang shalat), lalu di saat mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar bersama mereka, maka tatkala di pagi hari beliau berkata:

((قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنَي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ ))

"Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegah-ku keluar melainkan khawatir diwajibkan atas kalian".

Dan itu terjadi di bulan Ramadhan".[25]

Maka hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa berjama'ah di malam hari ramadhon tersebut adalah hal yang sunnah. Karena telah dikerjakan beberapa malam oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan beliau meninggalkannya hanya karena khawatir diwajibkan atas umatnya, sebab zaman beliau adalah zaman turunnya wahyu yang menyebabkan beliau khawatir diwahyukan sesuatu yang menjadikan kewajiban atas mereka sehingga mereka lemah dalam mengamalkannya. Adapun setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka telah hilang sebab kekhawatiran tersebut dan agama telah sempurna, maka kembali ke hukum semula yaitu dianjurkannya hal tersebut. Lalu tiba zaman kekhilafahan Abu Bakar As-Shiddiq radhiallahu anhu, dan belum ditegakkan sunnah tersebut karena disebabkan salah satu dari dua perkara:

Pertama: Mungkin beliau melihat bahwa shalat di akhir malam lebih afdhal dari pada mengumpulkannya di awal malam.

Kedua: Kesibukan beliau menghadapi berbagai perkara dalam pemerintahannya, seperti memerangi orang yang murtad dan yang enggan membayar zakat, melanjutkan pengiriman pasukan yang sempat tertunda di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan sebagainya.

Maka di saat tiba masa kekhilafahan Umar bin Khattab radhiallahu anhu maka beliau pun memiliki kesempatan untuk mengumpulkan kaum muslimin pada imam yang satu untuk shalat berjama'ah di malam Ramadhan tersebut. Sehingga apa yang beliau katakan:

نِعْمَتُ الْبِدْعَةِ هَذِهِ

"Ini adalah sebaik-baik bid'ah"

Yang dimaksud adalah bid'ah secara bahasa, bukan secara istilah, maka fahamilah wahai orang –orang yang diberi akal! [26]

Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta'ala:

"Ini adalah penamaan secara bahasa, bukan penamaan syar'iyyah. Sebab bid'ah secara bahasa mencakup seluruh apa yang dilakukan pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.Adapun bid'ah secara syar'i yaitu apa-apa yang tidak ada penunjukannya dalam syari'at. Maka apabila nash Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menunjukkan atas disukainya suatu amalan, atau diwajibkannya setelah beliau meninggal, atau terdapat penunjukannya secara mutlak, dan belum dilakukan kecuali setelah meninggalnya beliau seperti kitab sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu anhu. Maka apabila diamalkan hal tersebut setelah beliau meninggal, benar untuk dikatakan bid'ah secara bahasa, sebab itu adalah amalan yang pertama, sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam juga dikatakan bid'ah dan dinamakan perkara baru (bid’ah) secara bahasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh utusan Quraisy ke raja Najasyi tentang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berhijrah ke Habasyah :"Sesungguhnya mereka ini keluar dari agama nenek moyang mereka, dan tidak masuk ke dalam agama sang raja, mereka datang membawa agama yang baru yang tidak diketahui".[27]
Adapun takhsis yang ketiga Kecuali ijtihad-nya para imam mujtahid.: adalah pentakhsisan yang sungguh aneh, bagaimana mungkin hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam bisa ditakhsis oleh sesuatu yang datang berikutnya dari ijtihad para Imam mujtahid? Sepertinya saudara Ahmad Dimyathi tidak bisa membedakan mana kesalahan yang dimaafkan karena ijtihad, dan mana sesuatu yang dihukumi sebagai bid'ah atau penyimpangan walaupun berasal dari seorang mujtahid. Berkata salah seorang penyair:

العِلْمُ قَالَ الله قَالَ رَسُوْلُهُ قَالَ رَسُوْلُهَ لَيْسَ بِالْتَّمْوِيْهِ

مَاالْعِلْمُ نَصْبُكَ لِلْخِلاَفِ سَفَاهَةً بَيْنَ الرَّسُوْلِ وَبَيْنَ قَوْلِ فَقِيْهٍ

Ilmu itu adalah berkata Allah, berkata Rasulullah, dan berkata shahabat, tidaklah terkaburkan

Bukanlah ilmu tatkala engkau menjadikan sebagai perselisihan antara perkataan Rasulullah dengan perkataan seorang yang faqih karena kebodohan.

Perlu kita mendudukkan masalah ini sesuai pada tempatnya, yaitu bahwa seorang mufti diberikan wewenang dalam syari'at untuk berfatwa sesuai dengan apa yang difahaminya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan terkadang tidak sedikit dari mereka yang berfatwa namun fatwa tersebut menyelisihi yang benar, dengan berbagai macam sebab, apakah karena belum sampai kepadanya suatu hadits yang telah sampai dan diketahui oleh mujtahid yang lain, atau telah sampai kepadanya namun beliau memiliki dalil lain yang menyelisihi dalil tersebut yang ternyata riwayat tersebut lemah, atau dengan sebab yang lainnya.[28]

.

i –semoga Allah memberi petunjuk padanya- ketika fulan berkata: "Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya HARUS DITERIMA(??!!) dan tidak boleh dikatakan sebagai bid'ah dholalah, kalaupun dikatakan bid'ah, itu namanya bid'ah hasanah"[29]

Subhanallah!! Mana dalil yang menunjukkan bahwa hasil ijtihad para imam mujtahid harus diterima secara mutlak tanpa syarat? Siapa yang mendahuluimu mengatakan hal ini? Lalu apabila para imam mujtahid tersebut harus diterima, maka yang mana yang harus diterima di saat terjadi perselisihan di antara mereka?

Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaiahi wasalla:

القُضَاةُ ثَلاَثَةٌ : قَاضِيَانِ فِيْ النَّارِوَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ, قَاضٍ قَضَى بِغَيْرِ الْحََقِّ َوهُوَ يَعْلَمُ فَذَلِكَ فِي النَّارِ, وَقَاضٍ قَضَى وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوْقَ النَّاسِ فَذَلِكَ فِي النَّارِ, وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ وَهُوَ يَعْلَمُ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ

"Qadhi (penegak hokum) ada tiga: Dua dalam neraka dan satu dalam syurga:

1.Qadhi yang memutuskan hukum tanpa hak dan dia mengetahui hal itu maka dia dalam neraka.

2.Qadhi yang menetapkan hukum dan dia tidak berilmu maka menyebabkan dia membinasakan hak-hak manusia, maka dia dalam neraka.

3.Qadhi yang memutuskan (hukum) dengan kebenaran dan dia berilmu tentangnya maka dia dalam syurga".[30]

Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

"Apabila telah shahih suatu hadits, maka itulah madzhabku".

Beliau juga berkata:

لاَ يَحِلَّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ بِقَوْلِنَا مَا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ

"Tidaklah halal bagi seorang pun mengambil pendapat kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya".

Beliau juga berkata:

"حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يُفْتِي بِكَلاَمِي"

"Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan perkataanku".

Berkata Imam Malik rahimahullah Ta'ala:

(( إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَأُصِيبُ, فَانْظُرُوا فِي رَأْيِي, فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُنَّةَ فَخُذُوْهُ, وَكَلُّ مَا لَمْ يُوَاِفقْ الكِتَابَ وَالسُنَّةَ فَاتْرُكُوهُ ))

"Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku, maka setiap apa yang sesuai dengan Al-Kitab dan as-“Sunnah maka ambillah, dan setiap apa yang tidak mencocoki Al-Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah".

Beliau juga berkata:

وَلَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وآله وسلم إِلاَّ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيَتْرَكُ إِلاَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم

"Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam melainkan bisa diterima dan ditolak perkataannya kecuali Nabi shallallahu alaihi wasallam".

(( أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اِسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اله عليه وآله وسلم, لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ ))

"Sepakat kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena perkataan seseorang (dari manusia)".

Dan beliau juga berkata:

إَذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم, فَقُوْلُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَدَعُوا مَا قُلْتُ

"Jika kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ambillah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tinggalkan apa yang aku katakan".

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah