an-Nawawi rahimahullah menukil keterangan al-Harawi bahwa makna orang-orang yang asing adalah : orang-orang yang berhijrah meninggalkan negeri/daerah mereka karena kecintaan mereka kepada Allah ta’ala (Syarh Muslim, 1/235). Keterangan al-Harawi di atas dilandaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan ia akan kembali menjadi asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang asing?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah [mereka].” (HR. Ibnu Majah [3978] dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah [8/488] namun tanpa tambahan ‘ada yang bertanya, dan seterusnya’, as-Syamilah).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan ketika itu kami berada di sisi beliau, “Beruntunglah orang-orang yang asing.” Kemudian ada yang menanyakan, “Siapakah yang dimaksud orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah orang-orang yang jelek lagi banyak [jumlahnya]. Orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada orang yang menaati mereka.” (HR. Ahmad 6362 [13/400], disahihkan al-Albani dalam Shahih w a Dha’if al-Jami’ 7368 [3/443] as-Syamilah)
Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan di dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah penafsiran makna orang-orang yang asing tersebut dengan sanad yang sahih. Diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Waridah fi al-Fitan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu secara marfu’ -sampai kepada Nabi-, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti ketika datangnya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang tetap baik [agamanya] tatkala orang-orang lain menjadi rusak.” (as-Shahihah no 1273 [3/267]. as-Syamilah, lihat juga Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 54).
al-Qari menafsirkan bahwa makna orang-orang yang asing adalah orang-orang yang memperbaiki [memulihkan] ajaran Nabi yang telah dirusak oleh manusia sesudahnya. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan melalui Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, demikian dinukilkan oleh al-Mubarakfuri (Tuhfat al-Ahwadzi [6/427] as-Syamilah). Imam Tirmidzi menyebutkan dalam Sunannya hadits tersebut yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Mereka itu adalah orang-orang yang memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia sesudah kepergianku.” (HR. Tirmidzi [2554] dari Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu’anhu, namun hadits ini dinyatakan berstatus dha’if jiddan -lemah sekali- oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2630] as-Syamilah, lihat pula Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 53 oleh Syaikh Salim al-Hilali).
al-Mubarakfuri menjelaskan makna ‘ memperbaiki ajaranku yang telah dirusak oleh manusia-manusia’ yaitu : “Mereka mengamalkan ajaran/sunnah tersebut dan mereka menampakkannya sekuat kemampuan mereka.” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah). al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di atas bersatus lemah dikarenakan terdapat seorang periwayat yang bernama Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf al-Muzani. al-Mubarakfuri berkata, “Katsir ini adalah periwayat yang lemah menurut banyak ulama ahli hadits, bahkan menurut mayoritas mereka. Sampai-sampai Ibnu Abdi al-Barr mengatakan, ‘Orang ini telah disepakati akan kedha’ifannya’.” Maka keterangan beliau ini menyanggah at-Tirmidzi yang menghasankan hadits di atas (lihat Tuhfat al-Ahwadzi [6/428] as-Syamilah).
Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah berkata, “…tidak ada riwayat yang sah mengenai penafsiran [Nabi] tentang makna al-Ghuraba’ (orang-orang asing) selain dua tafsiran yang marfu’ yaitu : [1] Orang-orang yang [tetap] baik tatkala masyarakat telah diliputi kerusakan. [2] Orang-orang salih yang hidup di tengah-tengah banyak orang yang buruk [agamanya], akibatnya orang yang menentang mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 55).
Imam at-Tirmidzi membawakan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang suatu masa ketika itu orang yang tetap bersabar di antara mereka di atas ajaran agamanya bagaikan orang yang sedang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi [2260] disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’is Sunan at-Tirmidzi [5/260], as-Shahihah no 957. as-Syamilah).
Semoga Allah menjadikan kita termasuk al-Ghuroba’.. Allahumma amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan