Di antara pembaca, tentu tidak asing dengan nama Abu Muslim Al-Khaulani, yang bernama asli Abdullah bin Tsuwab –rahimahullah-. Beliau termasuk tokoh tabi’in, yang sangat dihormati para shahabat Nabi. Salah satu kisah legendarisnya adalah keteguhan beliau di atas al-haq ketika dipaksa untuk mengakui bahwa Al-Aswad Al-Ansi adalah Nabi. Ia dengan tegas menolak mentah-mentah paksaan itu meskipun ia telah didudukkan di tengah lapangan kota Shan’a, ibukota negeri Yaman, dengan dikelilingi kayu-kayu yang terbakar api yang menyala-nyala. Karena sikap tegasnya itu, kelak di kemudian hari Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu sampai mencium antara kedua mata Abu Muslim karena ia merasa bersyukur bisa bertemu dengan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hendak diperlakukan seperti Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam yang dibakar api karena memegang teguh prinsip beragama.
Ketika tampuk kekhalifahan Islam dipegang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, Abu Muslim pun juga sangat terhormat di mata Mu’awiyyah. Banyak sekali kisah-kisah beliau dengan Mu’awiyyah yang menunjukkan ketinggian adab dua orang tersebut, di samping terdapat pula kisah yang menunjukkan ketegasan Abu Muslim dalam beramar ma’ruf nahi mungkar kepada khalifah. Maka, kredibilitas Abu Muslim Al-Khaulani sudah tidak diragukan lagi. Yang diragukan kredibilitasnya adalah justru setiap muslim yang tidak mengenal nama tabi’in satu ini.
Namun, artikel ini tidak membahas kisah perdebatan Abu Muslim Al-Khaulani dengan Al-Aswad Al-Ansi di tengah kobaran api lapangan Shan’a, bukan pula membahas kisah-kisah beliau dengan Mu’awiyyah. Kalau kisah-kisah tersebut dikumpulkan lalu ditulis, akan menjadi sangat panjang. Kami akan sangat senang apabila ada saudara muslim (atau pembaca) yang mendahului untuk meluangkan waktunya untuk menulis kisah legendaris tersebut.
Apa yang akan kami nukilkan di sini adalah sebuah kisah menarik dari “sisi lain” kehidupan Abu Muslim yang jarang diketahui kaum muslimin. Bahkan, jarang diketahui pula oleh teman-teman penuntut ilmu.
.
B. Inspirasi Penulisan Artikel Ini
Sekarang ini, banyak kaum muslimin merendahkan dirinya (baca: menjilat) jika sudah dihadapkan kepada harta dan kekuasaan. Tidak sedikit orang menempuh cara-cara batil hanya untuk sekadar mencari dunia. Allahu musta’an, Banyak sekali ditemui orang tua yang menempuh jalur suap “hanya” karena ingin anaknya jadi pegawai negeri. Adapula yang menempuh jalur “titip kerabat” untuk memasukkan anaknya tersebut, yang ini dapat terjadi karena orang tua memiliki link atau kenalan di institusi tersebut. Memalukan! Sangat-sangat memalukan! Hadanallahu wa iyyahum.
Sikap-sikap di atas terjadi karena kita sekarang ini sudah jauh dari bimbingan salafusshalih.
Dan karena…
Kita tidak berusaha meneladani mereka….
Kita tidak membaca sejarah hidup mereka….
Kita tidak mengenal sifat wara’ dan zuhud mereka….
Maka…
Kita pun tenggelam dalam perhiasan dunia yang hina….
.
C. Inilah Penggalan Kisah Tersebut
Siapapun di antara kita yang membolak-balikkan lembaran-lembaran biografi salaf, niscaya kita dapati mereka demikian menghinakan dunia, meskipun terkadang dunia ada di kanan-kiri mereka. Mereka curahkan diri-diri mereka semata-mata untuk menegakkan Islam, bukan untuk kekuasaan. Perhatikanlah penggalan kisah Abu Muslim Al-Khaulani berikut ini, yang kami nukilkan dari kitab ذم الهوى /Dzammul Hawa/ karya أبو الفرج عبد الرحمن بن أبي الحسن الجوزي /Abul Faraj Abdurrahman bin Abil Hasan Al-Jauzi/, yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jauzi. Beliau berkata
.
Al-Muhammadan bin Nashir dan Ibnu Abdil Baqi telah memberikan kabar kepada kami, mereka berdua berkata, –> “Hamd bin Ahmad menyampaikan berita kepada kami. Ia berkata, –> “Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Al-Hafizh menyampaikan kepada kami, ia berkata, –> ”Muhammad bin Ahmad menyampaikan kepada kami, ia berkata, –> “Abdullah bin Muhammad menyampaikan kepada kami, ia berkata “–> Abu Zur’ah menyampaikan kepada kami, ia berkata, –> “Sa’id bin Asad menyampaikan kepada kami, ia berkata, –> “Dhamrah(*) menyampaikan kepada kami dari –> ‘Utsman bin Atha’, dari à ayahnya (Atha’-ed), ia berkata,”
“Biasanya, ketika Abu Muslim Al-Khaulani pulang dari masjid menuju rumahnya, dia bertakbir di depan pintu lingkungan rumahnya, lalu istrinya bertakbir. Ketika berada di halaman rumahnya, dia bertakbir lalu istrinya membalasnya. Dan ketika sampai pintu rumahnya, ia bertakbir, lalu istrinya bertakbir.”
Pada suatu malam, dia pulang lalu bertakbir di lingkungan rumah, ternyata tidak ada seorang pun yang menjawab. Ketika berada di halaman rumah dia bertakkbir, tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Ketika berada di pintu rumahnya, dia bertakbir, ternyata tiak ada seorang pun yang menjawabnya. Biasanya, ketika dia masuk rumahnya, istrinya mengambil selendang dan kedua sandalnya serta menghidangkan makanan kepadanya.
Ia masuk ternyata di dalam rumah tidak ada lampu. Ternyata istrinya duduk di rumah sembari mencongkel-congkel tanah dengan kayu di tangannya. Melihat hal itu, ia bertanya kepadanya,
“Ada apa denganmu?”
Ia menjawab,
أنت لك منزلة من معاوية وليس لنا خادم فلو سألته فأخدمنا وأعطاك
“Kamu punya kedudukan di mata Mu’awiyyah, sedangkan kita tidak punya pembantu. Seandainya Engkau meminta kepadanya, niscaya ia membantu kita dan memberikan kepadamu.”
Abu Muslim lalu berkata,
اللهم من أفسد علي امرأتي فاعم بصره
“Ya Allah, barangsiapa yang merusak istriku atasku, butakanlah penglihatannya.”
Sebelumnya, memang pernah seorang wanita datang kepadanya dan mengatakan,
“Suamimu punya kedudukan di mata Mu’awiyyah. Seandainya kamu mengatakan kepadanya agar meminta Mu’awiyyah supaya membantunya dan memberi kepadanya, niscaya kalian hidup berkecukupan.”
Ketika wanita ini duduk di rumahnya, tiba-tiba matanya tidak melihat. Ia mengatakan, “Mengapa lampu kalian dimatikan?”
Mereka menjawab, “Tidak.”
Akhirnya, ia menyadari dosanya, lalu ia pergi kepada Abu Muslim dengan menangis meminta kepadanya agar berdoa kepada Allah supaya penglihatannya dikembalikan.
Abu Muslim berbelas kasih kepadanya, lalu berdoa kepada Allah’azza wa jalla. Maka, Allah mengembalikan penglihatannya.
—–selesai penukilan—–
[Lihat: ذم الهوى, أبو الفرج عبد الرحمن بن أبي الحسن الجوزي, tahqiq مصطفى عبد الواحد, via software المكتبة الشالمة hal. 287-288)
.
D. Faidah
* Sedari awal, Abu Muslim mendidik istrinya untuk bersikap sederhana dan zuhud dari dunia, padahal Abu Muslim memiliki kedudukan di mata Khalifah Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Namun, kedudukan tersebut tidak ia manfaatkan untuk memperolah jabatan, kekuasaan, atau harta dengan meminta-minta kepada Khalifah. Renungkanlah tingginya cara pendidikan salaf ini yang lebih mengedepankan integritas daripada “kesenangan sesaat”. Renungkanlah pula sikap tegas beliau yang dimulai dari orang yang terdekat sendiri. Lihatlah kemarahan beliau ketika istrinya berkata,
أنت لك منزلة من معاوية وليس لنا خادم فلو سألته فأخدمنا وأعطاك
“Kamu punya kedudukan di mata Mu’awiyyah, sedangkan kita tidak punya pembantu. Seandainya Engkau meminta kepadanya, niscaya ia membantu kita dan memberikan kepadamu.”
Saran yang berbau Nepotisme ini langsung ditepis sang suami dengan mendoakan kejelekan bagi siapa yang mengubah akhlak istri yang dulunya baik itu, dengan berkata
اللهم من أفسد علي امرأتي فاعم بصره
“Ya Allah, barangsiapa merusak istriku, butakanlah penglihatannya.”
* Lihatlah, sikap istri yang mendorong suami untuk “mengambil dunia” dengan memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa, sudah dikatakan istrinya telah rusak menurut pandangan tabi’in senior ini. Coba bandingkanlah dengan gaya pendidikan kebanyakan orang zaman sekarang yang menjadikan “dunia” sebagai tolak ukur. Bahkan, tidak jarang silaunya dunia ini pun mengenai saudara muslim yang dulunya sudah mengenal ilmu-ilmu agama. Tidak sedikit hanya karena dorongan orang tua, orang mau-mau saja jadi pegawai negeri meski orang tua melakukan nepotisme. Akhi… didiklah orang tua kita untuk tidak tenggelam dalam dosa dengan menolak perintah mereka yang melanggar aturan Allah. Didiklah pula diri kita sendiri, saudara-saudara kita, anak-anak kita, bahkan cucu-cucu kita! Sesungguhnya dunia itu hina. Maka, hinakanlah ia……
alashree.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan