Definisi Aqidah Menurut Bahasa
Kata “aqidah” diambil dari kata al-‘aqdu, yakni ikatan dan tarikan yang kuat. Ia juga berarti pemantapan, penetapan, kait-mengait, tempel-menempel, dan penguatan.
Perjanjian dan penegasan sumpah juga disebut ‘aqdu. Jual-beli pun disebut ‘aqdu, karena ada keterikatan antara penjual dan pembeli dengan ‘aqdu (transaksi) yang mengikat. Termasuk juga sebutan ‘aqdu untuk kedua ujung baju, karena keduanya saling terikat. Juga termasuk sebutan ‘aqdu untuk ikatan kain sarung, karena diikat dengan mantap.[1]
Definisi Aqidah Menurut Istilah Umum
Istilah “aqidah” di dalam istilah umum dipakai untuk menyebut keputusan pikiran yang mantap, benar maupun salah.
Jika keputusan pikiran yang mantap itu benar, maka itulah yang disebut aqidah yang benar, seperti keyakinan umat Islam tentang ke-Esa-an Allah. Dan jika salah, maka itulah yang disebut aqidah yang batil, seperti keyakinan umat Nashrani bahwa Allah adalah salah satu dari tiga oknum tuhan (trinitas).
Istilah “aqidah” juga digunakan untuk menyebut kepercayaan yang mantap dan keputusan tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan. Yaitu apa-apa yang dipercayai oleh seseorang, diikat kuat oleh sanubarinya, dan dijadikannya sebagai madzhab atau agama yang dianutnya, tanpa melihat benar atau tidaknya.[2]
Aqidah Islam.
Yaitu, kepercayaan yang mantap kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, qadar yang baik dan yang buruk, serta seluruh muatan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah berupa pokok-pokok agama, perintah-perintah dan berita-beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi Salafush Shalih (ijma’), dan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala dalam hal keputusan hukum, perintah, takdir, maupun syara’, serta ketundukan kepada Rasulullah r dengan cara mematuhinya, menerima keputusan hukumnya dan mengikutinya.[3]
Topik-Topik Ilmu Aqidah.
Dengan pengertian menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah di atas, maka “aqidah” adalah sebutan bagi sebuah disiplin ilmu yang dipelajari dan meliputi aspek-aspek tauhid, iman, Islam, perkara-perkara ghaib, nubuwwat (kenabian), takdir, berita (kisah-kisah), pokok-pokok hukum yang qath’iy (pasti), dan masalah-masalah aqidah yang disepakati oleh generasi Salafush Shalih, wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri), serta hal-hal yang wajib dilakukan terhadap para sahabat dan ummul mukminin (istri-istri Rasulullah r).
Dan termasuk di dalamnya adalah penolakan terhadap orang-orang kafir, para Ahli bid’ah, orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsu, dan seluruh agama, golongan, ataupun madzhab yang merusak, aliran yang sesat, serta sikap terhadap mereka, dan pokok-pokok bahasan aqidah lainnya.[4]
Nama-Nama Ilmu Aqidah
Pertama: Nama-Nama Ilmu Aqidah Menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah[5]
Ilmu aqidah menurut Ahli Sunnah wal Jama’ah memiliki beberapa nama dan sebutan yang menunjukkan pengertian yang sama. Antara lain:
Aqidah, I’tiqad, dan Aqo’id.
Maka disebut Aqidah Salaf, Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, dan Aqidah Ahli Hadis.
Kitab-kitab yang menyebutkan nama ini adalah :
1) Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah karya Al-Lalika’iy (wafat:418 H)
2) Aqidah As-Salaf Ashab Al-Hadits karya Ash-Shobuni (wafat:449 H)
3) Al-I’tiqad karya Al-Baihaqi (wafat:458 H).
Tauhid.
Kata “tauhid” adalah bentuk mashdar dari kata wahhada – yuwahhidu – tauhiid. Artinya: menjadikan sesuatu menjadi satu. Jadi “tauhid” menurut bahasa adalah memutuskan bahwa sesuatu itu satu. Menurut istilah, “tauhid” berarti meng-Esa-kan Allah dan menunggalkan-Nya sebagai satu-satunya Dzat pemilik rububiyah, uluhiyah, asma’, dan sifat.Ilmu Aqidah disebut Tauhid karena tauhid adalah pembahasan utamanya, sebagai bentuk generalisasi.
Kitab-kitab aqidah yang menyebut nama ini adalah kitab :
1) At-Tauhid min Shahih Al-Bukhari yang terdapat di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Bukhari (wafat: 256 H)
2) I’tiqad At-Tauhid karya Abu Abdillah Muhammad Khafif (wafat: 371 H)
3) At-Tauhid wa Ma’rifat Asma’ Allah wa Shifatihi ‘Ala Al-Ittifaq wa At-Tafarrud karya Ibnu Mandah (wafat: 395 H)
4) At-Tauhid karya Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat: 1206 H).
5) At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah.[6]
Sunnah.
Kata As-Sunnah di dalam bahasa Arab berarti cara dan jalan hidup.
Sedangkan di dalam pemahaman syara’, istilah As-Sunnah dipakai untuk menyebut beberapa pengertian menurut masing-masing penggunaannya. Ia dipakai untuk menyebut Hadis, mubah, dan sebagainya.
Alasan penyebutan Ilmu Aqidah dengan Sunnah adalah karena para penganutnya mengikuti Sunnah Nabi r dan sahabat-sahabatnya. Kemudian sebutan itu menjadi syiar (simbol) bagi Ahli Sunnah. Sehingga dikatakan bahwa Sunnah adalah antonim (lawan kata) bid’ah. Juga dikatakan: Ahli Sunnah dan Syi’ah.
Demikianlah. Banyak ulama menulis kitab-kitab tentang Ilmu Aqidah dengan judul “Kitab As-Sunnah”. Di antaranya:
1) Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hambal (wafat:241 H)
2) As-Sunnah karya Al-Atsram (wafat:273 H)
3) As-Sunnah karya Abu Daud (wafat:275 H)
4) As-Sunnah karya Abu Ashim (wafat:287 H)
5) As-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat:290 H)
6) As-Sunnah karya Al-Khallal (wafat:311 H)
7) As-Sunnah karya Al-Assal (wafat:349 H)
8) Syarh As-Sunnah karya Ibnu Abi Zamnin (wafat:399 H)
Syari’ah.
Syari’ah dan Syir’ah adalah agama yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah, seperti puasa, shalat, haji, dan zakat. Kata syari’ah adalah turunan (musytaq) dari kata syir’ah yang berarti pantai (tepi laut). Allah Ta’ala berfirman, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah dan minhaj.” (QS. Al-Maidah:48)
Di dalam tafsir ayat ini dikatakan: Syir’ah adalah agama, sedangkan minhaj adalah jalan.[7] Jadi “syari’ah” adalah sunnah-sunnah petunjuk yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya r. Dan yang paling besar adalah masalah-masalah aqidah dan keimanan.
Kata “syari’ah” –seperti halnya kata “sunnah”- digunakan untuk menyebut sejumlah makna:
a. Digunakan untuk menyebut apa yang diturunkan oleh Allah kepada para Nabi-Nya, baik yang bersifat ilmiah (kognitif) maupun amaliyah (aplikatif).
b. Digunakan untuk menyebut hukum-hukum yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing Nabi agar diberlakukan secara khusus bagi masing-masing umatnya yang berbeda dengan dakwah Nabi lain, meliputi minhaj, rincian ibadah, dan muamalah. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa semua agama itu asalnya adalah satu, sedangkan syariatnya bermacam-macam.
c. Terkadang juga digunakan untuk menyebut pokok-pokok keyakinan, ketaatan, dan kebajikan yang ditetapkan oleh Allah bagi seluruh Rasul-Nya, yang tidak ada perbedaan antara Nabi yang satu dengan Nabi lainnya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa-apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa.” (QS. Asy-Syuura:13)
d. Dan secara khusus digunakan untuk menyebut aqidah-aqidah yang diyakini oleh Ahli Sunnah sebagai bagian dari iman. Sehingga mereka menyebut pokok-pokok keyakinan mereka dengan istilah “syari’ah”.
Iman.
Istilah “iman” digunakan untuk menyebut Ilmu Aqidah dan meliputi seluruh masalah I’tiqadiyah. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang kafir terhadap iman, maka terhapuslah (pahala) amalnya.” (QS. Al-Maidah:5) Kata “iman” di sini berarti tauhid.[8]
Kitab-kitab aqidah yang ditulis dengan judul “iman” adalah :
1) Al-Iman karya Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam
2) Al-Iman karya Ibnu Mandah.
Ushuluddin atau Ushuluddiyanah.
Ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman, dan masalah-masalah I’tiqadiyah lainnya.
Kitab-kitab aqidah yang ditulis dengan nama ini adalah :
1) Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah karya Imam Al-Asy’ari (wafat:324 H)
2) Ushulid Diin karya Al-Baghdadi (wafat:429 H).
Sebagian ulama mengingatkan bahwa nama ini tidak selayaknya digunakan. Karena pembagian agama menjadi ushul (pokok) dan furu’ (cabang) adalah sesuatu yang “muhdats” dan belum pernah ada pada masa Salaf. Menurut mereka, pembagian ini tidak memiliki batasan-batasan yang definitif dan bisa menimbulkan dampak negatif. Sebab, boleh jadi orang yang tidak mengerti Islam atau orang yang baru masuk Islam memiliki anggapan bahwa di dalam agama ini terdapat cabang-cabang yang bisa ditinggalkan. Atau, dikatakan bahwa di dalam agama ini ada inti dan ada kulit.
Dan sebagian ulama menyatakan, “Yang paling aman adalah dikatakan, aqidah dan syari’ah, masalah-masalah ilmiah (kognitif) dan masalah-masalah amaliyah (aplikatif), atau ilmiyat dan amaliyat.[9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan