dhalim." Dalam riwayat lain, "Kalimat yang adil." (HR. Ibnu Majah dalam
Sunannya No. 4011 dan 4012, Abu Dawud dalam Sunannya no. 4344, At Tirmidzi
dalam Sunannya No. 2174 dan Abu Umamah dan Abu Sa'id Al Khudri dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' I/248)
Lalu bagaimana cara syar'imemberi nasehat seperti yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam?
Mari kita simak hadits berikut ini:
"Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah menyatakannya
di depan umum terang-terangan. Hendaklah ia mengambil tangan penguasa
tersebut (ke tempat tersembunyi -pent). Maka bila penguasa itu mau
mendengar nasehat tersebut, itulah yang dikehendaki. Tetapi bila tidak mau
mendengarnya, sungguh penasehat itu telah menunaikan apa yang diwajibkan
atasnya." (HR. Ahmad dalam Musnadnya, jilid 3 hal. 403-404, Al-Hakim dalam
Mustadraknya, jilid 3 hal. 290, Ibnu Abi Ashim dalam kitab As Sunnah dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah hal.
507 no. 1096)
Imam Asy-Syaukani berkata dalam As-Sailul Jarar (IV/556), "Bagi siapa saja
yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian
permasalahan, sudah selayaknya menasehati tanpa mempermalukannya di
hadapan khalayak ramai. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan
dalam sebuah hadits: Hendaklah dia mengambil tangan penguasa itu dan
mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasehat kepadanya dan tidak
menghinakan penguasa Allah. Telah kami paparkan pada awal buku As-siyar
bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin
walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan
shalat dan tidak tampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits
yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib
bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah
dan menduharkainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah)."
(Muammalatul Hukkam, hal. 56-57/Sikap Politik, hal. 57-58)
Syaikh Abdus Salam bin Barjas dalam kitab beliau Muammalatul Hukkam fi
Dhau'il Kitab was Sunnah hal. 60-62 (diterjemahkan ke Indonesia menjadi
Sikap Politik Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah terhadap Pemerintah, Pustaka
As-Salaf, hal. 61-63) berkata mengenai cara menasehati pemerintah:
"Dan dalil tentang anjuran memberi nasehat secara sembunyi-sembunyi kepada
penguasa dan melarangnya secara terang-terangan adalah hadits yang
dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad (IV/382), beliau berkata, "Abu
Nadhr menceritakan kepada kami, ia berkata; Al Hasyraj bin Natabah Al
'Abasi (Al Kufi) menceritakan kepada kami, ia berakta: Sa'id bin Jamhan
menceritakan kepada kami, ia berkata, "Aku mendatangi Abdullah bin Abi
Aufa, waktu itu matanya dalam keadaan tertutup lalu aku memberi salam
kepadanya.
Dia bertanya kepadaku, "Siapakah engkau?"
Aku menjawab, "Aku Sa'id bin Jamhan."
Dia bertanya, "Apa yang telah ayahmu perbuat?"
Aku menjawab, "Al-Azariqah telah membunuhnya."
Beliau berkata, "Semoga Allah melaknat Al-Azariqah, semoga Allah melaknat
Al-Azariqah. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menceritakan kepada
kami bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka."
Aku bertanya, "Apakah Al-Azariqah saja atau Khawarij seluruhnya?" Dia
menjawab, "Tentu, Khawarij seluruhnya."
Aku berkata, "Sesungguhnya penguasa itu mendhalimi manusia dan berbuat
sewenang-wenang terhadap mereka."
Tiba-tiba ia menarik tanganku dan mencengkeramnya dengan sangat kuat
seraya berkata, "Celaka engkau, hai Ibnu Jamhan. Wajib bagimu mengikuti
As-Sawadul A'dham (golongan terbesar pengikut Nabi-ed.), wajib bagimu
mengikuti As-Sawadul A'dham. Kalau kau ingin penguasa itu mendengar
nasehatmu, maka datangilah dia di rumahnya dan beritahulah tentang apa
yang telah kamu ketahui, bila dia menerima (itulah yang diharapkan). Bila
ia tidak mau menerima nasehat itu, maka tinggalkanlah dia, karena engkau
tidak lebih tahu dari dia."
Haitsami berkata dalam Al-Majma' (V/230), "Diriwayatkan Ahmad dan
Ath-Thabrani, rijalnya Ahmad terpercaya."
Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Takhriju Sunnah (II/523). Dan
hadits ini memang hasan sebagaimana yang beliau katakan.
-Juga- di antara keterangan yang menjadi dalil dalam perkara ini yaitu
riwayat yang dikeluarkan oleh Bukhari (VI/330; XIII/48, Al-Fath) dan
Muslim (IV/2290) dari Usamah bin Zaid bahwa dia pernah ditanya, "Tidakkah
engkau menemui Ustman untuk menasehatinya?" Dia menjawab dengan balik
bertanya, "Apakah kalian berpendapat semua nasehatku kepada beliau harus
diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah aku telah berbicara empat mata
dengannya tanpa membesar-besarkan perkara tersebut. Aku tidak suka menjadi
orang pertama yang suka membeberkannya." Ini adalah konteks Muslim.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ketika men-ta'liq (memberi komentar)
Mukhtashar Shahih Muslim (335) berkata, 'Yang beliau (Usamah bin Zaid
-pent.) maksudkan adalah terang-terangan dalam mengingkari para penguasa
di hadapan khalayak ramai. Karena di dalam pengingkaran (yang dilakukan)
secara terang-terangan (di depan umum) akibatnya sangat mengkhawatirkan
sebagaimana kasus ketika sebagian orang bersepakat untuk mengingkari
Ustman secara terang-terangan, akhirnya terjadilah pembunuhan terhadap
Utsman."
Dalam Az-Zuhd oleh Hunnad (II/602); dari Umar bin Al-Khaththab radhiallahu
'anhu, beliau berkata, "Wahai rakyatku sesungguhnya kami mempunyai hak
yang harus kalian penuhi, yaitu Nasehat dengan diam-diam dan
tolong-menolong di atas kebaikan."
Al-Hafizh Ibnu Rajab menyebutkan di dalam Jami'ul Ulum wal Hikam (I/225)
bahwa Ibnu Abbas ditanya tentang mengajak penguasa untuk berbuat kebaikan
dan melarangnya dari kemungkaran. Maka beliau menjawab, "Jika kamu mau
tidak mau harus melakukannya, maka harus dengan empat mata."
Atsar ini dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (XV/74); Jarir
menceritakan kepada kami dari Mughirah dari Ibnu Ishaq dari Sa'id bin
Jubair, ia berkata, "Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah aku
harus menganjurkan pemimpinku untuk berbuat kebaikan?" Beliau menjawab,
"Kalau engkau takut dia kan membunuhmu, maka janganlah engkau mencela imam
(penguasa). Dan jika mau tidak mau engkau menasehatinya juga, haruslah
engkau tempuh dengan cara empat mata."
Selain itu nasehat hendaknya disampaikan dengan cara yg santun.Sebagaimana Allah berfirman kepada nabi Musa dan Nabi Harun, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thoha: 43-44)
Allah memerintahkan untuk berbicara dengan lemah lembut kepada orang yang Allah kabarkan melampaui batas dan diketahui bahwa ia mati dalam kepadaan kafir. Maka, apalagi dengan orang yang di bawahnya dari dari kalangan kaum muslimin yang menyelisihi syariat.
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa mudah bergaul dengan manusia dan santun kepada mereka itu berarti lemah dalam agama dan bersikap lembek. Bahkan sebagian mereka menganggap bahwa bersikap lembut itu berarti menyetujui kebatilan dan diam dari kesalahan. Keduanya telah keliru dan menyimpang dari kebenaran. Hati-hatilah dengan hal ini. Karena ini adalah kekeliruan berbahaya yang tidak selamat darinya kecuali orang yang diberi taufik dan hidayah oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan