Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Senin, 11 Januari 2010

Mari Tetap Sholat di Kala Tak Mendapatkan Air (Tayammum Ala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sall

Rasa sedih tentu akan menyeruak dari dalam diri seorang muslim, jika melihat seorang saudaranya yang lain meninggalkan kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah. Begitu pula yang penulis rasakan ketika dalam suatu perjalanan, penulis menyaksikan sebagian besar penumpang bus yang penulis tumpangi meninggalkan shalat. Padahal waktu itu bulan Ramadhan dan sebagian besar pulang kampung untuk merayakan lebaran ‘Idul Fithri di rumah masing-masing. Puasa yang mereka tinggalkan saat perjalanan memang merupakan keringanan yang Allah berikan bagi orang yang bersafar. Tentu saja dengan ketentuan bahwa puasa yang ditinggalkan akan di-qadha ketika telah usai bulan Ramadhan tersebut. Namun, shalat bagi seorang muslim tetaplah wajib, begitupula bersuci sebagai salah satu syarat sahnya shalat juga merupakan kewajiban. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keringanan dalam bentuk yang berbeda untuk masing-masing kewajiban tersebut.

Ketika shalat tidak mampu dilaksanakan secara berdiri, maka bisa dilakukan dengan duduk, dan jika tidak mampu maka bisa dilakukan dengan berbaring. Dalam keadaan safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bahwa untuk shalat-shalat wajib, orang yang dalam perjalanan tidak melakukannya di atas kendaraannya. Adapun untuk kendaraan-kendaraan yang tidak memungkinkan bagi seorang musafir untuk menghentikan kendaraannya (seperti kereta, kapal laut) atau bis yang tidak diketahui secara tepat pemberhentiannya, maka seseorang dapat shalat di dalam kendaraan tersebut, karena terpaksa. (Insya Allah akan datang artikel khusus tentang shalat bagi orang musafir).

Begitupula dengan bersuci. Ketika seseorang telah bersuci dan memakai khuf, maka dalam perjalanan dengan jangka waktu tiga hari, ia dapat berwudhu dengan cara mengusap khuf. Adapun jika ia tidak mendapat air atau terhalang untuk menggunakan air, maka Allah telah memberi keringanan berupa tayammum.

“Jika kamu tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). Usaplah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu.” (Qs. al-Maa-idah [5]: 6)

Kesimpulannya, adalah keringanan untuk wudhu dan shalat bukanlah dalam bentuk boleh ditinggalkannya kewajiban wudhu dan shalat tersebut.

Kisah Munculnya Syari’at Tayammum

Kisah ini diceritakan oleh Aisyah istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu saat, ia bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu perjalanannya. Ketika mereka telah sampai di Baida’ atau Dzatul Jaisy (hendak memasuki kota Madinah), tiba-tiba Aisyah kehilangan kalung yang dipinjamnya dari Asma. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan berkenan mencarinya dan orang-orang pun ikut mencarinya. Waktu itu mereka berhenti di tempat yang tidak ada airnya dan mereka juga tidak membawa air.

Akhirnya (saat kalung Aisyah belum juga diemukan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di pangkuan Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat itu orang-orang mengeluh kepada Abu Bakar ash-Shidiq, “Tidakkah engkau lihat apa yang dilakukan Aisyah? Ia telah menghentikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang banyak, padahal mereka tidak di tempat yang ada airnya dan tidak membawa air.”

Abu Bakar pun mendatangi Aisyah dan memarahinya. Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan, “Abu Bakar mencercaku dan mengatakan apa yang dikehendaki Allah untuk mengatakannya. Ia pun memukulku dengan keras seraya berkata,’Apa engkau menahan orang-orang ini karena kalung?!’ Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun itu terasa menyakitkanku. Aku tidak dapat berbuat sedikit pun karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di pangkuanku.”

Kemudian tibalah waktu shalat, dan mereka tidak menemukan air. Dalam satu riwayat, para sahabat akhirnya shalat tanpa wudhu. Hal tersebut disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Allah menurukan ayat tayammum (yaitu al-Maa-idah ayat 6). Usaid bin Hudhair berkata kepada Aisyah, “Semoga Allah membalas kebaikan bagimu. Demi Allah, tidaklah engkau mengalami perkara yang tidak engkau sukai, kecuali Allah memberikan untukmu (jalan keluarnya), dan (menjadikan) kebaikan bagi kaum muslimin di dalamnya.” (HR. Bukhari dari beberapa jalan periwayatan)

Dalil Syariat Tayammum

Ada banyak dalil yang menunjukkan disyari’atkannya tayammum. Salah satunya adalah hadits berikut,

Dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak mendapatkan air. Kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat. Setelah itu, ‘kusampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (melakukan) begini,” yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup keduanya, lalui Beliau mengusapkan kedua tangannya pada wajah dan kedua telapak tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Saat-Saat Bolehnya Bertayammum

1. Saat tidak mendapatkan air.
Ketika dalam keadaan mukim (tidak berpergian) ataupun bepergian, seseorang boleh bertayammum dengan syarat ia tidak mendapatkan air dan khawatir kehabisan waktu shalat.
2. Ketika sakit dan sakitnya tersebut menghalangi dirinya untuk menggunakan air. (Namun, bila seseorang sakit, namun tidak berhalangan menggunakan air, maka dia tidak boleh tayammum).
3. Saat air yang dimilikinya terbatas dan jika digunakan untuk berwudhu akan membahayakan dirinya (karena bisa mati kehausan).
4. Saat terhalang dari mengambil air, misalnya karena ada musuh, pencuri, kebakaran dan semacamnya sehingga jika ia menggunakan air akan membahayakan diri, harta dan kehormatannya.
5. Saat mendapatkan air, namun air tersebut sangat dingin dan membahayakan dirinya dan ia tidak dapat memanaskan air tersebut.
6. Dalam keadaan junub dan air yang dimilikinya tidak cukup untuk berwudhu atau mandi.

Zat yang Digunakan untuk Tayammum

Imam Syafii, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Dzohiri mengharuskan tayammum dengan menggunakan tanah asli yang berdebu. Namun menurut pendapat yang lebih kuat, tayammum boleh menggunakan semua jenis belahan bumi, tidak harus bertayammum dengan tanah asli yang berdebu, bahkan boleh dimana saja sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan tayammum dari dinding. (lihat Ashl Shifat Shalat an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 2/784, dikutip dari majalah Al-Furqon).

Hal ini termasuk keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari rasul lainnya sebagaimana dalam hadits yang dibawakan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku diberi kemenangan dengan ditanamkan rasa takut pada diri musuh dalam jarak sebulan perjalanan; seluruh bagian bumi dijadikan tempat sujud dan alat bersuci; siapapun di antara umatku yang menjumpai waktu shallat, maka shalatlah di mana ia berada….” (HR. Bukhari)

Dan dalam ayat Al-Qur’an juga disebutkan, “fatayammamu sha’iidan thayyiban” yang artinya, “Maka bertayammumlah dengan sha’iid yang bersih”. Ibnul Manzhur mengatakan dalam Lisanul Arab bahwa sha’id berarti tanah. Ia juga mengutip perkataan Abu Ishaq yang menyatakan bahwa sha’id adalah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah dan tidak perlu mempermasalahkan apakah tanah pada permukaan tersebut terdapat debu atau tidak. (lihat Al-Wajiz)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah