إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
“Apabila salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah dapat menjadi penyuci baginya”. (HR. ِAbu Daud no. 389 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 833)
Dari Anas bin Malik dia berkata:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
“Seorang Arab badui datang lalu kencing di sudut masjid, maka orang-orang pun menghardiknya, tetapi Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang mereka. Setelah orang itu selesai dari kencingnya, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- minta diambilkan setimba besar air lalu beliau menyiramkannya pada kencingnya.” (HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 285)
Dari Abu As-Samah dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ
“Air kencing bayi perempuan dicuci, sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup disiram.” (HR. Abu Daud no. 376, An-Nasai no. 302 dan Ibnu Majah no. 519)
Maksud ‘disiram’ adalah dituangkan air padanya tapi air yang dituangkan tidak sampai mengalir dan menetes dari pakaian, jadi bukan sekedar dipercikkan sebagaimana yang disangka sebagian orang.
Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana kalian apabila dia dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, cucian yang pertama dicampur dengan tanah.” (HR. Al-Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)
Dari Ali bin Abi Thalib dia berkata:,
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Aku adalah lelaki yang sering keluar madzi, tetapi aku malu untuk bertanya Nabi -shallallahu’alaihiwasallam- karena puteri beliau adalah istriku. Maka aku menyuruh Al-Miqdad bin Al-Aswad supaya bertanya beliau, maka beliau menjawab, “Hendaklah dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
Penjelasan ringkas:
Najis adalah semua benda yang dihukumi kotor oleh syariat, dan dia ada tiga jenis:
1. Najis maknawiah, misalnya kekafiran. Karenanya Allah berfirman, “Orang-orang musyrik itu adalah najis,” yakni bukan tubuhnya yang najis akan tetapi kekafirannya.
2. Najis ainiah, yaitu semua benda yang asalnya adalah najis. Misalnya: Kotoran dan kencing manusia dan seterusnya.
3. Najis hukmiah, yaitu benda yang asalnya suci tapi menjadi najis karena dia terkena najis. Misalnya: Sandal yang terkena kotoran manusia, baju yang terkena haid atau kencing bayi, dan seterusnya.
Selengkapnya baca di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=1608 dan di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=346
Secara umum pembahasan najis di kalangan ulama terbagi menjadi dua:
1. Yang merupakan najis berdasarkan kesepakatan ulama.
2. Yang diperselisihkan apakah dia najis atau bukan.
A. Adapun yang merupakan najis berdasarkan kesepakatan ulama adalah:
1. Tinja manusia.
2. Kencing manusia, baik dewasa maupun anak-anak, baik yang masih mengonsumsi ASI maupun yang sudah mengonsumsi selainnya. Baca keterangannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=1619 dan juga di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=893
3. Madzi dan wadi. Baca keterangannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=1583
4. Darah haid dan nifas.
5. Semua bangkai kecuali empat: Bangkai manusia, bangkai hewan air, bangkai belalang, dan bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir.
6. Rautsah (tinja kuda, keledai, dan baghal)
B. Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama di antaranya:
1. Mani.
2. Darah selain haid dan nifas.
3. Liur dan tubuh anjing.
4. Tinja dan kencing hewan yang boleh dimakan.
5. Tinja dan kencing hewan yang haram dimakan.
6. Tubuh orang kafir.
7. Khamar
8. Babi.
Insya Allah pembahasan mengenai kedelapan perkara ini dan selainnya akan kami bahas peda tempatnya tersendiri. Yassarallah.
Adapun cara membersihkannya maka asalnya semua najis hanya syah dibersihkan dengan menggunakan air karena air merupakan asal dalam alat bersuci, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas. Kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bolehnya menyucikan najis dengan selain air, maka ketika itu kita katakan boleh menyucikan najis dengan selainnya. Seperti yang ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah di atas dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyatakan bahwa tanah bisa menyucikan sandal yang menghinjak tinja manusia, maka kita katakan dalam keadaan seperti ini syah membersihkan sandal dengan tanah, walaupun tetap lebih utama menyucikannya dengan air.
Juga asal dalam penyucian najis adalah dicuci sampai hilang zat najisnya, berapapun jumlah cucian yang dibutuhkan. Jika najis sudah hilang dengan sekali siraman maka itu zat itu kembali suci dan tidak perlu dituangkan air berulang kali. Karenanya pendapat yang paling kuat dalam masalah liur anjing adalah dia bukanlah najis. Karena tatkala bejana diperintahkan untuk dicuci sebanyak 7 kali bahkan salah satunya harus dengan tanah, maka ini menunjukkan perintah mencuci di sini adalah ta’abbudi (murni penghambaan) dan bukan karena bejana tersebut menjadi najis. Karena seandainya karena najis maka sudah syah mencuci bejana kurang dari 7 kali selama liurnya sudah hilang, sementara para ulama yang menyatakan najisnya liur anjing tidak menyatakan syahnya cucian dibawah 7 kali. Maksud dari ta’abbudi adalah tidak diketahui apa hikmah dari cucian tersebut Sama seperti kita diperintah untuk mencuci tangan ketika berwudhu, kita tidak tahu kenapa tangan yang dicuci, apa alasannya, dan kenapa maksimal 3 kali, akan tetapi yang jelas kita diperintahkan untuk mencuci tangan bukan karena tangan kita najis. Wallahu a’lam
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1758
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan