Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Rabu, 05 Mei 2010

Ayah, Mama, Kumohon..Jangan Seret Aku pada Kesesatan!!

Kuawali gores kegetiran hati ini dengan raung jerit pedihku untuk Ayahanda dan Ibunda ku tercinta, terkasih, serta tersayang dunia akhirat. Berharap engkau berdua (yang semoga selalu dirahmati oleh ALLAH subhanahu wa ta`ala) dapat mendengarnya dalam diam bahasaku.


Panjang Tentang Diriku
Aku lahir ditengah minimnya kasih sayang keluarga, bukan karna salah satu orangtuaku telah tiada, tapi lebih karna cara mereka mengasihi kami dg cara `berbeda`. Berbeda yang dimaksudkan disini adalah laku kasar mereka dalam mendidik kami menjadi yang mereka inginkan, alhasil bukannya kami cenderung menghormati mereka, kami lebih banyak menakuti mereka. Terlihat ketika saudara-saudaraku senang bukan kepalang ketika mereka (lebih khususnya mama) berada jauh dari kami, berpergian panjang kah/ sekedar keluar rumah/pun kita yang sudah mendapat izin pergi dari rumah. Hematnya, ketakutan selalu menyergap dalam tiap sudut ruang rumah ini.

Namun, ketakutan ini membuat kami saling menerkam satu dengan yang lainnya untuk berebut perhatian mama, yang tentu keuntungannya sangat banyak bak mendapatkan mahkota dari permaisuri raja, ia akan mendapatkan semua yang diinginkan, terutama ia akan bebas dari caci maki keras dan pukulan pedas yang seringkali didaratkan. Yahh…mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan itu, kecuali diriku mungkin, karna aku yang paling `aneh` diantara mereka, itu kata mama. Aku lebih mengartikannya dengan aku lebih `cerdas` diantara kepintaran saudara-saudaraku, karna saudara-saudaraku termakan pendidikan mama yang menitik beratkan pada prestasi akhir, semua harus dapat rangking kalau tidak yah tau akibatnya sendiri. Aku tidak, aku mengembangkan pikiranku diluar box nya mama, aku aktif dalam segala ekstrakulikuler tanpa harus menelantarkan rapor ku untuk kupersembahkan pada mama.

Sampai sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas semua kuturuti apa saja yang dinginkan kedua orang tuaku, asal ku tetap aman mengembangankan pemikiranku tentang kebebasan, ketidakadilan, hak-hak, kewajiban, kasih-sayang, cinta, persahabatan dll. Tapi tidak semulus kalimat pertama paragraf ini, aku mendapat akibat dari perbedaan pola pikirku ini. Label `aneh` ku dari mama semakin menjadi-jadi sejak aku mulai berani membukakan kunci pintu kamar mandi tempat saudaraku dikurung, sementara yang lain ketakutan/ bahkan tertawa senang. Sejak aku berani menepis bangku dengan lenganku yang terbang melayang menuju adikku. Sejak aku rela tidur diluar rumah menemani hukuman saudaraku. Sejak aku tidak takut lagi dipukul dan dicaci. Aku menjadi kuat secara fisik dan logik walau sebetulnya ketakutanku masih sama dengan ketakutan yang menghinggapi saudara-saudaraku, tandanya ketika lidah ini masih saja kelu dari bahasa berang ataupun sayang. Ku hanya berbahasa melalui tatapan jika di rumah, makanya mama selalu menimpali dengan `kenapa melotot-lotot??gak suka??` rasanya ia gemar sekali memancingku hingga berkata kasar seperti kepunyaannya. Tapi aku berhasil tak masuki perangkapnya, karna aku sudah puas sekali ketika diluar rumah sana, aku ini orang yang dipandang karna bahasanya yang kerap membuat orang terpesona. Aku dekat dengan banyak orang karna untaian kataku. Ketika anak lain yang sebesar denganku punya boneka, rumah-rumahan, masak-masakan/barang-barang lainnya yang dia nisbatkan menjadi barang paling berharga, ku hanya menganggap kata-kata adalah barang yang paling berharga yang tak serampangan di perlihatkan, karna harus dijaga dengan baik.


Untuk sekarang aku yang tentukan sendiri
Segalanya masih berlangsung, hingga saat ku memasuki kuliah pertama di kampus paling ternama di Indonesia, itupun karna kemauan mereka. Pendeknya, setahun ku kuliah telah membuatku matang untuk memutuskan berpisah dari mereka, segalanya kecuali materi, aku masih butuh suplai. Tahun kedua kudeklarasikan pada ayah dan mama aku resmi pindah jurusan dan minta kos. Dengan banyak jaminan akhirnya aku bisa bebas mengangkasa di langit yang baru ku tahu ternyata warnanya biru berawan indah, tak sama yang ku kenal selama belasan tahun silam yang kelabu diselimuti kabut hitam.

Aku merayakannya dengan giat berfikir mengais kebenaran, petualangan yang sesugguhnya baru dimulai. Aku berguru dengan siapa saja, semua argumentasi, pembelaan, fakta, data ku rangkum dan kubuktikan dengan mataku sendiri, letih sekali memang. Alhasil acapkali lompatan paradigmatikku selalu mencapai titik keradikalan yang awam di tengah masyarakat.
Aku mengenal Salaf

Dari Islam kiri hingga paling kanan. Dari Islam liberal sekuleris, Islam harakiyyun, Islam Hizbiyyah hingga ku tak mau beranjak dari jalan salaf yang ku imani detik ini sampai detik ajalku (InsyaaALLAHU Ta`ala, Allohumma Aamiiiyynn). Secara dzahir pun aku terlihat `labil`, wajar karna berbanding lurus dengan lompatan-lompatan panjang yang agak melelahkan ini. Tapi lelahnya tak seberapa jika dibandingkan air telaga yang tak pernah habis memuaskan dahagaku sekarang ini.

Tak ada keimanan yang tak diuji, inilah keniscayaan hidup. Kekasihku menguji kecintaanku padaNya, agar Dia tahu mana yang benar-benar mencintaiNya dan mana yang sembunyi-sembunyi menyekutukanNya. Ketika itu aku pulang seperti bulan-bulan kemarin tapi ini berbeda, aku pulang dengan pakaian serba hitam nan syar`i, pakaian keseharianku sekarang. Kedua orang tuaku terkejut, kejutnya lebih hebat dari halilintar yang menghantar petir, aku dimarahi pasti dan di popor senjata makian, katanya aku teroris, separatis, fundamentalis, radikalis, katanya `kamu pasti sudah jadi salafy` dalam hatiku `Aammiiynn insyaaALLAH`. Aku terus disergap dengan pertanyaan-pertanyaan yang hampir memancing bertabuhnya genderang amarahku, sampai akhirnya aku harus kuliah di hari Senin dan kembali ke kosan.


Paksaan kesesatan
Tepatnya tengah malam, sms meraung minta dibalas, ternyata mamaku, memintaku untuk bermalam di rumah besok, aku mengiyakan. Sampai di rumah aku tidak dimarahi tidak dicaci, malah dihidangkan sayang dan disediakan manja, aneh tidak seperti biasanya. Benarlah, malamnya aku di sidang, dengan ayah dan mama, aku diminta kembali kerumah, alasannya karna mama sakit pikirinkan aku yang takut menjelma teroris, baru kali ini aku beranikan berbicara, memberikan penjelaasan bahwa yang bercadar itu bukan berarti teroris, walau yang dituduh teroris selalu dipenuhi orang-orang yang berpakaian syar`i. Tangis menghiba-hiba mama didepanku, ini pertamanya ia lakukan, tak tega maka kuturuti saja.

Aku kembali ke rumahku yang dulu, aku coba meraba tiap sudutnya, mencari rasa ketakutan yang pernah bersarang dulu. Aku merasa ada yang ditutup-tutupi, tapi aku kembali bersihkan hati dan menancapkan husnudzon di hati. Nyata saja, selang tak berapa lama, aku tidak boleh pulang lama, tidak boleh banyak baca buku `terlarang`, tidak boleh pakai pakaian serba hitam apalagi cadar. Semua aturan, ukurannya adalah agama orang tuaku yang sejak dulu telah dianut, Ormas Islam kembangan rezim Orde Baru (ini data ilmiah valid hasil kuliah Sejarah Pemikiran Islam, yang tidak bisa kusebutkan disini). Sekarang pesat, ayahku telah menjadi petinggi pengurus organisasi ini, atasannya lagi ada pamanku.

Aku dipaksa mengaji lagi (karna sejak dari kecil, akupun mengaji di organisasi ini -aturan mamaku-, baru setelah aku kos aku berhenti mengaji di organisasi ini), aku takut sekali, karna harus mengikuti pengajian pukul 8 hingga 10 malam, aku tak terbiasa dengan hal ini, karna maghrib adalah jam terakhirku di luar kecuali dalam darurat. Aku harus selalu shalat wajib dan sunnah dimasjid, walau akupun telah menjelaskan keutamaan dan keharusan shalatnya wanita di rumah. Aku tidak boleh memakai kaos kaki, aku tidak boleh pakai kerudungku yang biasa ku pakai (aku diharuskan memakai kerudung segitiga warna-warni), pakaian dan kesemuanya pun diatur selama bergaul ditengah lingkaran organisasi ini. Jujurnya ayah dan terutama mamaku takut jikalau orang lain tahu bahwa aku tarbiyah di salaf. Aku paham, karna doktrin lembaganya adalah konsep keimaman tak boleh dilanggar, siapa saja yang keluar dari jamaah (sebutan mereka untuk organisasi mereka sendiri), keluarnya adalah kafir dan berarti murtad.

Pernah suatu saat pamanku menghampiriku yang sedang qira`ah, beliau protes kenapa Al-Quran ku berbeda dengan yang lain, aku tak menanggapinya dengan serius, lalu ku iseng menanyakan `ua, tau gak sunnahnya pelihara jenggot dan mencukur kumis??` (ua adalah panggilan paman untuk orang Sunda) di balas `tau lah!` aku tersenyum dan menyabari `hehe…trus kenapa ndk melihara jenggot??kenapa lebih pilih pelihara kumis??` kususul dengan hadistnya beserta sanad-sanadnya. Beliau terdiam, memandangku tak terdefinisikan dari sorotnya, lalu tiba-tiba saja beliau menempelengku, dan berteriak `darimana kamu tahu hadist itu??dari himpunan mana??pasti kamu tidak memangkulinya dari pengajian kita kan??` dan sekejap seluruh masjid memandangku aneh, aku langsung berlari pulang dan menangis. Semenjak itu, pengajian yang selalu ku ikuti selalu membahas kesesatan-kesesatan salafy, seakan menjadi kebiasaan.

Kepayahan demi kepayahan ku arungi, aku melindungi kitab-kitab ku dari laku pembakaran mama, aku menyembunyikan cadarku, aku menghapal do`a secara rahasia, aku sudah sulit ta`lim, jika hari libur/weekend. aku, aku, aku, kembali pada aku yang dulu, yang penuh rasa takut, tak banyak pembendaharaan katapun yang meluncur dari bibirku.

Ku tak sanggup lagi mengepak sayap mengitari bumi, ku tak sanggup lagi menyibak kabut pagi dan memandang dunia. Kini ku menanggung sakit tiada bertabib, ku menanggung lara tiada pelipur. Bersamaan dengan itu kuputuskan untuk tak lagi berkomunikasi dengan calon suamiku, walau ia telah banyak menghiburku selama ini, meski ia tak pernah tahu duduk permasalahannya, ia bersedia mendengarku menangis yang dibalas dg bisikan dari seberang sana `ade jangan menangis..itu akan membuat kakak juga ikut sedih`, ia sudah membuatku kuat disaat-saat getir iman ini diombang-ambing oleh orang-orang yang pertama kali kucintai di dunia ini, ketika ku lahir dengan mengea-ngea di tating bidan yang masih berlumur darah dan air ketubannya.

Aku ingin meniadakan semua orang dengan begitu ku dapat bersendirian dengan Kekasihku, menyatakan dengan sebenar-benarnya pernyataan bahwa niscaya Engkau akan dapati hambaMu ini termasuk orang-orang yang bersabar di jalanMu.


NB: tak pernah terbesit untuk menyudutkan kekurangan kedua orang tua, maka kurahasiakan identitasku. Hanya ingin berbagi setelah perginya seseorang yang selalu ku andalkan, namun perginya adalah kebahagiaan bagiku, karna jika kami masih saling cinta maka cintanya adalah cinta yang suci lagi akan di sucikan dalam ikatan suci.
Tertanda Zahrah Al-Jakarty, 19 Jamadil Awal 1431 H
Disunyinya kamar yang usang akan kasih cinta.
===

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah