Pendekar Sunnah - Abu Fajri Khusen's Blog

Jumat, 15 Juli 2011

Tafsir Al-Faatihah (9)


Assalaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Bismillah. Alhamdulillah, wa shallatu wasallamu 'ala Rasulillillah.
Amma ba'du.
Langsung saja Kita lanjutkan kajian tafsir kita.


iyyaaka na'budu wa-iyyaaka nasta'iinu

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.


1. Qira'ah.
Para ahli qira'at sab'ah dan jumhur ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya' pada kata "iyyaka". Sedangkan kata "nasta'iinu" dibaca dengan memfathahkan huruf nun yang pertama.

2. I'rob
Afwan sebelumnya, atas saran dari beberapa ikhwan, bahwa untuk kajian tafsir agar dihilangkan pembahasan i'robnya. Namun kali ini saya sengaja bahas sedikit karena penting dan berkaitan dengan materi yang akan kita bahas bersama.
Tidak mengapa, Mudah insya Allah.
Kalau pun masih bingung, toh bisa tanya.

IYYAAKA : dhamir (kata ganti) nasab munfasil (yang terpisah), mabni (tetap) dalam keadaan fathah, menempati tempat nasab berkedudukan maf’ul (objek) yang didahulukan.

NA'BUDU : fiil mudhare marfu’, tanda rofa-nya adalah dhammah yang nampak diakhirnya, karena kosong dari adat nasab dan adat jazm. Dan failnya (subjeknya) adalah dhamir yang tersembunyi, yaitu: “kami”. Maknanya: kami akan beribadah.

WA IYYAKA NASHTA'IIN: kedua kalmat ini sama I’rob-nya dengan dua kalimat di atas.

Didahulukannya maf'ul bih (objek), yaitu kata "iyyaka", dan setelah itu diulangi lagi, adalah untuk memberikan perhatian dan pembatasan. Artinya : "Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-MU." Inilah puncak kesempurnaan ketaatan, dan secara keseluruhan agama ini kembali kepada kedua makna diatas.

3. Tafsir Ayat.
"Hanya kepada-Mu kami beribadah" merupakan pernyataan berlepas diri dari kemusyrikan. Sedangkan "Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." merupakan sikap berlepas diri dari segala upaya dan kekuatan makhluk, serta menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
Makna semisal disebutkan juga di dalam beberapa ayat di dalam al Qur'an, diantaranya firman Allah (yang artinya) : "Maka beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak akan lalai dari apa yang kamu kerjakan."
(QS. Hud :123)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan :
Ayat ini bermakna; kami mengkhususkan ibadah dan permintaan tolong tertuju hanya kepada-Mu. Sebab didahulukannya penyebutan objek pembicaraan (Engkau, yaitu Allah) menunjukkan ada maksud pembatasan. Hakikat dari pembatsan itu adalah menetapkan suatu hukum terhadap objek yang disebutkan serta menafikannya dari segala sesuatu selainnya. Seolah-olah orang ini mengatakan; Kami beribadah kepada-Mu dan tidak akan beribadah kepada selain diri-Mu. Dan kami juga meminta pertolongan kepada-Mu dan tidak akan meminta pertolongan kepada selain diri-Mu. Didahulukannya (penyebutan) ibadah sebelum permintaan tolong merupakan bentuk ungkapan mendahulukan sesuatu yang bersifat umum sebelum yang bersifat khusus. Selain itu motifnya adalah untuk menunjukkan bahwa hak Allah ta’ala harus dijunjung tinggi di atas hak semua hamba-Nya.

Ibadah itu sendiri hakikatnya adalah; suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya yang berupa perbuatan maupun ucapan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Sedangkan makna dari isti’anah/permintaan tolong adalah bersandar kepada Allah ta’ala dalam rangka meraih kemanfaatan dan menepis bahaya, hal ini diiringi dengan kepercayaan yang kuat terhadap Allah dalam upaya untuk memperoleh itu semua.
Menunaikan ibadah kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya, sebenarnya itulah sarana untuk menggapai kebahagiaan abadi serta jalan untuk menyelamatkan diri dari segala bentuk keburukan. Oleh sebab itu tidak ada jalan untuk menemukan keselamatan kecuali dengan merealisasikan keduanya (ibadah dan isti’anah). Suatu ibadah baru bisa disebut ibadah yang benar apabila diambil dari tuntunan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam serta dikerjakan dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah. Dengan dua syarat itulah ibadah menjadi ibadah yang sebenarnya. Sedangkan maksud dari penyebutan isti’anah setelah ibadah -padahal isti’anah juga bagian dari ibadah itu sendiri- adalah demi menunjukkan betapa besar kebutuhan seorang hamba terhadap pertolongan Allah dalam rangka mewujudkan semua ibadah yang dilakukannya. Sebab seandainya Allah tidak memberikan pertolongan kepadanya niscaya apa pun yang diinginkan olehnya tidak akan tercapai, baik dalam mengerjakan perintah maupun menjauhi larangan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)

Maraji' :

  1. Tafsir Ibnu Katsir
  2. Taisir al-Karim ar-Rahman


Artikel Terkait



1 komentar:

أبو فجر خسين mengatakan...

Kalo kita perhatikan dengan seksama, pada ayat ini ada perubahan bentuk kata ganti (dhomir). Dari ghaib (orang ketiga) menjadi mukhathab (orang kedua/lawan bicara) yang ditandai dengan huruf kaf pada kata "iyyaaka".
Kenapa, ya? Kenapa "iyyaaka", bukan "iyyaahu". Kira-kira Apa sih hikmahnya?
Karena ketika seorang hamba memuji Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. Makanya, Dia berfirman : "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nasta'iinu."
Itu hikmahnya.

Terus kenapa "hanya kepada Engkaulah kami beribadah" didahulukan dari "dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan"?.
Karena, ibadah kepada-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan hanya sarana untuk beribadah. Dan sesuatu yang lebih penting harus didahulukan dari sesuatu yang tidak lebih penting darinya.

Posting Komentar

Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan

Kritik dan Sarannya tafadhol

Blog Sahabat Sunnah