Assalaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
alhamdulillah, kita masih melajutkan kajian tafsir al-Qur'an kita, tak terasa sudah masuk edisi ke-10, artinya sudah lebih dari 2 bulan kita belajar, semoga Allah memudahkan kita memahami kalam-Nya. Aamiin. kalo udah amiin biasanya kajin selesai, tapi tenang kita baru mulai.
Bismillah.
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus
1. Qira'ahTunjukilah kami jalan yang lurus
Jumhur ulama membacanya dengan memakai huruf "shod". Ada juga yang membaca dengan huruf "zai" (az zirooto). Al-Farra' mengatakan : "ini adalah bahasa Bani 'Udzrah dan Bani Kalb."
2. Tafsir Ayat
a. Adab Berdoa.
Ayat ini mengajarkan kepada kita adab dalam berdoa, yaitu hendaknya doa diawali dengan pujian.
setelah memuji Allah tempat kita memohon, barulah kita pantas memohon kepadanya.
Ini keadaan yang paling sempurna bagi seorang hamba untuk mengajukan permintaan. Pertama, ia memuji Rabb yang akan ia mintai, lalu memohon keperluannya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan mu'minin, melalui ucapannya : "ihdinash shiraathol mustaqiim".
Begitu juga dalam doa-doa lainnya, adabnya diawali dengan pujian. Makanya kita banyak dapati do'a dari as Sunnah yang diawali dengan pujian. Silahkan antum cari dan tulis di komentar.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak seorang pun yg lebih pencemburu dari pada Allah. Karena itulah Dia mengharamkan segala yang keji-keji, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Dan tidak seorang pun yang lebih menyukai pujian selain dari Allah. Dan karena itulah Dia memuji diri-Nya sendiri.
(HR. Bukhari 13/383 dan Thirmidzi 9/508)
Allah memerintahkan kita agar kita memuji-Nya, agar Dia memberi pahala kepada kita atas pujian itu. Maka kenapa khta tidak ambil manfaat dari kesempatan ini? Dan kalau kita tidak memanfaakannya, toh Allah Maha Kaya dan tidak butuh pujian kita.
Permohonan dapat juga disampaikan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut, sebagaimana yang diucapkan Musa alaihis salam : "Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al Qashash: 24). Dan kadang permohonan tersebut didahului dengan menyebut sifat-sifat orang yang dimintai, seperti ucapan Nabi Yunus alaihis salam : "Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim." (QS. Al- Anbiya': 87)
Tetapi, terkadang permohman hanya dengan memuji orang yang diminta, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:
أ أذكر حاجتي أم قد كفانى ¤ حياؤك إن شيمتك الحياء
إذا أثنى عليك المرء يوما ¤ كفاه من تعرضة الثناء
"a adzkuru haajatii am qad kafaanii ¤ hayaa-uka inna syiimatakal hayaa-u.
Idzaa atsna 'alaikal mar-u yauman ¤ kafaahu man ta'arradhohuts tsanaa-u."
"apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malumu. Karena sesungguhnya rasa malu merupakan sifatmu.
Jika suatu hari seseorang memberikan pujian padamu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan."
b. Hidayah
Yang dimaksud hidayah pada ayat ini adalah bimbingan dan taufik.
Hidayah itu ada dua macam:
1. Hidayah berupa keterangan
(hidayatul irsyad wal bayan)
- Ini bisa diberikan Alloh kepada semua orang meskipun dia tidak mengamalkan ilmunya
- Hidayah ini bisa diberikan oleh mahkluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka
Oleh karena itu Alloh mensifati Nabi-Nya yang mulia yang artinya :
“Sesungguhnya engkau (ya Nabi Muhammad) benar-benar memberikan hidayah/petunjuk kejalan yang lurus” (Asy Syuro : 52)
2. hidayah berupa
pertolongan (hidayatut taufiq wal ilham).
- Yaitu hidayah bagi orang untuk mengamalkan ilmu yang sudah dia peroleh
- Hidayah ini hanya ada ditangan Alloh ta’ala, bahkan Nabi kita sekalipun tidak memiliki hidayah jenis yang kedua ini Sebagaimana firman Alloh yang artinya :
” Sesungguhnya engkau ( ya Muhammad ) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Alloh lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” ( Al Qoshosh: 56 ).
Kedua macam hidayah ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. Adapun selain
mereka hanya mendapatkan hidayatul bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan
taufiq dari Allah untuk mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal,
hidayatul bayan tanpa disertai taufiq untuk beramal bukanlah petunjuk yang hakiki dan sempurna .
Maka wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah
mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
Terkadang, kata hidayah menjadi muta'addi dengan sendirinya. Misalnya pada ayat ini. Dalam konteks ini, maknanya adalah, berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufiq kepada kami, atau berikanlah anugerah kepada kami. Contoh yang sama juga pada firman-Nya: وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan" (QS. Al Balad: 10). Artinya, kami telah mengilhamkan/menjelaskan kepada manusia jalan kebaikan dan jalan keburukan.
Kata ini dapat juga menjadi muta'addi dengan memakai huruf "ila" setelahnya, sebagaimana firman-Nya: شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ "yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus". (QS. An Nahl:121). Makna hidayah dalam ayat-ayat ini adalah bimbingan dan petunjuk.
Begitu juga dalam QS. Asy-Syura':52. وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus"
Terkadang kata hidayah menjadi muta'addi dengan memakai huruf 'lam', sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga: وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا "QS. Al- A'raaf: 43.
Artinya, Allah memberikan hidayah taufiq kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami sebagai penghuninya.
c. Hidayah Kudu Dicari
Allah ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul Qayyim mengatakan,
“Allah subhanahu mengaitkanhidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan,
dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada- Nya berbagai jalan untuk
menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding
dengan jihad yang ditinggalkannya.
d. Makna ash Shirooth al-Mustaqiim
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menyebutkan sebuah riwayat
dari Maimun bin Mihran dari
Ibnu ‘Abbas bahwa makna
shirathal mustaqim adalah
Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa
orang sahabat yang lain.
Sedangkan menurut Mujahid
yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah
kebenaran (lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/36).
Sedangkan firman-Nya "ash shiraathal mustaqiim", Imam Abu Ja'far bin Jarir berkata: "seluruh ulama tafsir sepakat bahwa makna ash shirathal mustaqim itu adalah jalan yang terang dan lurus."
Terjadi perbedaan ungkapan para mufassir dalam menafsirkan kata ash shirath, menurut Versi Ali bin Abi Thalib ialah Kitabullah, versi Ibnu Abbas ialah al-islam, versi Abu 'Aliyah ialah Abu Bakar dan Umar. Tapi jangan khawatir, pada prinsipnya maknanya satu, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
Syaikhul Islam mengatakan,
“…Sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan
perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan mengilmui
dan mengamalkannya (Majmu’ Fatawa)
Ibnul Qayyim mengatakan,
“Ayat ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan
untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan
tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut kecuali dengan hidayah dari-Nya.” (Al-Fawa’id, hal. 21).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu
membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini.
Karena sesungguhnya setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah ta’ala di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam, semakin paham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya …”
Dengan demikian, makna ayat ini : "Teruslah Engkau bimbing kami di jalan yang lurus ini, dan jangan pernah Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya."
3. Jangan jadi Orang Plin-plan atau Linglung.
Plin-plan gimana? Kitatiap hari minimal 17 kali dalam sehari memohon hidayah kepada jalan yang lurus, setelah hidayah itu allah kasih, malah ditolak. seprti halnya orang yang Allah beri dia pemahaman bahwa wajib mengikuti Sunnah, tapi dia keukeuh diatas kesyirikan dan kebid'ahan karena takut hinaan dari masyarakat, atau karena jabatan, popularitas dan lain-lain, ini yang menghalanginya dari hiayah. kapan-kapan kita bahas 10 tabir atau penghalang hidayah.
Orang seperti ini ama saja dengan orang yang minta dikasih tahu jalan ke Jakarta, setelah dikasih tahu,, dia berangkat ke Cirebon. haduh.
4. Maraji':
- ad Du'a, karya 'Abdullah al Khudhari. penerbit, ad Daarus Salafiyyah
- Tafsir Ibnu Katsir
- Al-Fawa’id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar, dengan syarat menjaga adab-adabnya, tidak mengandung kata-kata kotor, makian dan sebagainya. Dan kami tidak melayani perdebatan atas sesuatu yang telah jelas dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Ijma', namun jika ada hal yang masih samar, silahkan tanyakan